DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. I
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI........................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................................................. iii
PENGESAHAN SKRIPSI........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR................................................................................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ix
ABSTRAK............................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A.
Latar Belakang Masalah.................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................................... 6
C.
Pengertian
Judul............................................................................................................. 6
D.
Tinjauan Pustaka............................................................................................................. 9
E.
Metode
Penelitian.......................................................................................................... 10
F.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian.................................................................................... 12
G.
Garis-Garis Besar Isi
Skripsi............................................................................................. 13
BAB II KONSEP KEKUASAAN............................................................................................... 14
A.
Pengertian
Kekuasaan.................................................................................................... 14
B.
Sumber-Sumber Kekuasaan............................................................................................ 16
C.
Bentuk-Bentuk
Kekuasaan.............................................................................................. 20
BAB III POLITIK
ISLAM......................................................................................................... 26
A.
Pengertian Politik
Islam.................................................................................................. 26
B.
Pemikiran Politik Islam.................................................................................................... 41
C.
Etika Politik
Islam............................................................................................................ 58
BAB IV ANALISIS KEKUASAAN DALAM POLIKTIK
ISLAM........................................................ 64
A.
Konsep Kekuasaan Dalam Politik
Islam........................................................................... 64
B.
Hubungan Kekuasaan Dengan Politik
Islam.................................................................... 69
C.
Analisis Hubungan Kekuasaan Legislatif,
Eksekutif, Dan Yudikatif Dalam Pemerintahan
Islam............................................................................................................................... 77
BAB V PENUTUP................................................................................................................. 83
A.
Kesimpulan..................................................................................................................... 83
B.
Implikasi.......................................................................................................................... 86
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................. 87
ABSTRAK
Nama : Ahmad Ilyas Hidayat
Nim : 30100106008
Fak/Jur : Ushuluddin dan
Filsafat/Pemikiran Politik Islam
Judul : KEKUASAAN PERSPEKTIF
POLITIK ISLAM
Skripsi ini membahas tentang pandangan Islam tentang
kekuasaan. Pokok masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah bagaimana
konsep kekuasaan secara umum, pandangan Islam terhadap politik, dan bagaimana
keterkaitan atau hubungan kekuasaan
dengan politik dalam pandangan Islam.
Untuk memecahkan rumusan masalah tersebut, maka
penulis menggunakan metode yakni pengumpulan data melalui riset kepustakaan
metodologi ini menggunakan literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan
serta menggunakan teknik kutipan
langsung dan tidak langsung, begitupula metode pengolahan dan analisa data yang
bersifat kualitatif artinya dasar-dasar tersebut diambil dari Al-Qur’an dan
hadits disertai dengan beberapa pendapat dari para ulama, terutama para Imam
Mazhab.
Sebagai hasil dari penganalisaan tentang kekuasaan
dalam politik Islam diketahui bahwa politik atau siyasah dalam pandangan Islam
tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun
seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan
kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Ia muncul
dalam dunia domestic maupun publik, kultural, maupun struktural, personal dan
komunal. Meski dalam perkembangannya, politik memiliki penyempitan makna
menjadi istilah politik praktis, politik structural, perebutan kekuasaan untuk
kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan
masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.
Kekuasaan yang sejalan dengan politik Islam adalah
kekuasaan yang yang seperti dicontohkan
Rasulullah saw. dalam kepemimpinannya. Kekuasaan itu sendiri terbagi tiga,
yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Hal
ini memberikan gambaran bahwa pemerintah atau pemimpin yang menjadi penguasa
bukanlah penguasa tunggal. Tetapi, dibantu oleh beberapa ahli dalam bidangnya
masing-masing, agar kekuasaan yang muncul kemudian bukanlah kekuasaan yang
bersifat dictator dan sewenang-wenang.
Islam adalah agama rahmat, yang telah mengajarkan
tata cara berpolitik yang islami, yaitu dengan tetap merujuk kepada Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah saw. Oleh karena itu, bagi pemimpin di belahan bumi
manapun, Rasulullah saw. merupakan panutan dan teladan yang paling sempurna.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring dengan isu kebangkitan Islam (The Revival Of Islam), maka berbagai
persoalan yang berhubungan dengan hakikat, karakteristik, serta ruang lingkup
suatu negara Islam dan sistem politik Islam, mendapat sorotan tajam. Namun
kajian politik Islam lebih banyak berbicara tentang peristiwa-peristiwa politik
mutakhir di dunia Islam kontemporer, tanpa ada upaya untuk mengkaji secara
lebih mendalam aspek-aspek teori politik yang benar-benar memengaruhi
peristiwa-peristiwa tersebut.
Kegagalan literatur masa kini yang
berkaitan dengan Islam dan ilmu politik, sebagian besar disebabkan oleh tidak
memadainya disiplin itu sendiri. Ilmu politik modern telah didefinisikan
sedemikian sempit sehingga kehilangan kaitannya dengan aspek-aspek lain dari
upaya-upaya kolektif kehidupan manusia. Ilmu politik modern tidak memadai, sebab
tidak memikirkan masalah-masalah etis yang fundamental.
Kontribusi
dan artikulasi para penulis tentang teori politik Islam juga sangat
menyedihkan. Karena pada umumnya, karya tulis itu lebih banyak bercorak doktrin
politik, bukannya teori politik atau pun filsafat politik. Dalam wacana (discourse) antara politik dan agama,
para akademisi politik Islam lebih banyak mengurai teks-teks hukum klasik dan
abad pertengahan atau menggambarkan struktur lembaga pemerintahan Islam awal
yang dalam sejarah dipandang suci. Sebenarnya kecenderungan tersebut
mengikhtisarkan dan memproduksi krisis dalam pemikiran politik Islam saat ini.[1]
Bukan bermaksud untuk mamaksakan suatu
definisi yang tersisa kepundak umat manusia yang sudah sarat beban, sekaligus
bermakna atau tidak bermakna sama sekali, tetapi kita ingin menandaskan bahwa
apapun kita sebagai rumpun manusia perlu dimanifestasikan melalui pengalaman
sosial dan budaya tentang kekuasaan. Kekuasaan bukanlah suatu wilayah melainkan
salah satu bentuk dan kondisi yang
esensial dalam hubungan kemanusiaan. Di samping kenyataan bahwa kekuasaan
intristik pada semua hubungan dimana terdapat asimetri, kita ingin
ditetapkan bahwa wilayah kekuasaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi
politik itu bersifat inklusif pada tingkat masyarakat besar.
Secara khusus masyarakat Indonesia,
kekuasaan dalam hukum adat adalah mencerminkan pandangan hidup yang dianut.
negara yang hidup dikalangan masyarakat Indonesia adalah hukum yang
mencerminkan pandangan hidup secara utuh dan menyeluruh, khususnya dalam
menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat.
Untuk lebih memahami dan mendalami
hakekat “suatu persoalan pengetahuan” seyogyanya persoalan itu dikaji secara
radikal dengan melakukan perenungan, pengujian serta pengajuan kritik dan
penilaian secara teratur dan sistematis. Masalah kekuasaan merupakan salah satu
persoalan dalam filsafat negara yang mementingkan suatu tinjauan.
Dengan memahami hakekat politik Islam
dan kekuasaan secara mendasar, pada gilirannya perbuatan dan pelaksanaan
politik Islam di suatu pihak dan perolahan serta penggunaan kekuasaan dilain
pihak akan senantiasa lebih arif dan bijaksana. Namun para teoritis politik
menarik perhatian pada sifat tatanan politik yang baik hendak ditujukan, karena
kekuasaan adalah salah satu cara dalam berusaha mencapai tujuan-tujuan politik.
Maka pertanyaan mengenai tujuan-tujuan tatanan politik tidak dapat dipisahkan
dari pertanyaan mengenai tujuan-tujuan itu sendiri.
Didalam kaedah negara di tetapkan apa
yang menjadi hak dan kewajiban anggota masyarakat di dalam pergaulan hidupnya
yaitu menetapkan cara bertingkah laku
manusia dalam hidup bermasyarakat serta keharusan untuk menaatinya. Jika ketaatan pada negara
ini hanya diserahkan kepada kemauan bebas manusia sepenuhnya, maka tujuan
negara itu akan sulit dicapai. Karena aksi untuk memengaruhi kemauan bebas itu
berarti memaksa anggota masyarakat untuk taat kepada negara. Pemaksaan ketaatan
akan negara ini membawa kita kepada masalah kekuasaan, dalam arti kemampuan
untuk menegakkan daya paksaannya.
Kekuasaan (power) itu merupakan
suatu wewenang untuk memberikan kekuasaan kepada seseorang atau lembaga tertentu.
Ini berarti kekuasaan tersebut bersumber pada negara, yaitu ketentuan-ketentuan
negara untuk mengatur wewenang tersebut. Bahwa kekuasaan itu perlu
diselenggarakan oleh manusia tanpa kecuali, dan sudah barang tentu sebagai
manusia ia memiliki banyak kelemahan dalam memegang kekuasaan.
Untuk melaksanakan kehendak atau
kekuasaan terhadap individu, kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan lain yang
ditetapkan di dalamnya, maka paling jelas diungkapkan dalam hukumnya. Ini
merupakan hukum yang diakui, diungkapkan dan dipaksakan oleh negara. Memang
hukum itu diperhatikan, dihargai, dihormati oleh banyak filsuf politik.
Kendatipun kita berbicara dalam berbagai cabang politik Islam sekalipun, konsep
kekuasaan tetap mempunyai konotasi dengan kepentingan. Untuk itu pengupasan
sudah barang tentu didekatkan pada hukum dan politik dengan pengungkapan yang
memungkinkan pemahaman yang lebih baik terhadap soal kekuasaan sehingga
peraturan-peraturan, prinsip-prinsip dan norma-norma senantiasa mengatur
hubungan-hubungan yang dapat menyelesaikan kepentingan bersama.
Dalam hal ini, pentingnya kajian
pemikiran politik Islam. Nurcholis Madjid menyatakan:
“Dalam kaitannya dengan masalah politik
ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan banyak
agama yang lain. Pernyataan yang sering muncul secara steorotipikal itu memang
mengandung hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan negara yang
sedang berlangsung selama lebih dari empat abad dan yang masih akan berlangsung
entah berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga itu akan berarti sama dengan
mengingkari sebagian dari esensi agama Islam.”[2]
Dari uraian diatas
dapat disimak bahwa persoalan persepsi kaum muslimin terhadap politik Islam
dari satu sisi baik, tapi ketika masuk pada wilayah kenegaraan yang didalamnya
berbagai agama maka Islam bukan menjadi hal yang pokok untuk dijadikan sebagai
tujuan dalam mengatur hidup. Karena ketika kita mengabaikan agama lain, hal
yang naif adalah kita menafikkan negara yang menggunakan sistem demokrasi.
Berkaitan dengan hal di atas, Marshall
G.S. Hodgson, sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid juga menyatakan:
“Melihat keseluruhan sejarah Islam
sebagai venture atau usaha tidak
kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan, dan venture itu melibatkan orang-orang
muslim dalam praktek semua bidang kegiatan hidup, dengan sendirinya termasuk
politik.”[3]
Senada dengan itu, Huston Smith juga
mengatakan bahwa kekuasaan yang diperoleh oleh orang-orang Arab dengan sikap
pasrah pada kekuatan transedental itu sedemikian dahsyatnya sehingga antara
lain menghasilkan ledakan politik yang paling spektakuler dalam sejarah umat
manusia. Kata Smith:
Submission (in Arabic, Islam) was
the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet its entry
into history occasioned the greatest political explosion the world has known.[4]
Berdasarkan realitas di atas, terasa
sekali betapa pentingnya pengkajian politik Islam (fiqh siyasah) di berbagai lembaga pendidikan Islam terutama di
dunia Islam. Walaupun aspek kajian ini akan mengundang beberapa kontroversi lebih-lebih di negara
yang bukan Islam. Apa lagi, perkembangan modernitas yang begitu dahsyat perlu
diimbangi dengan saratnya dimensi etika yang Islami, sudah tentu membutuhkan
para pakar Islam yang mampu mengalokasikan nilai-nilai keIslaman tersebut.
Dengan eksisnya lembaga pendidikan atau penelitian dibidang politik Islam akan
dapat melahirkan pendekatan baru yang tidak sekedar legal-formal seperti fiqh an sich.
B.
Rumusan
Masalah
Sejalan dengan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah pandangan politik Islam tentang peranan kekuasaan. Lebih lanjut, rumusan masalah ini
dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep kekuasaan secara umum?
2.
Bagaimana pandangan Islam terhadap
politik?
3.
Bagaimana keterkaitan atau hubungan
kekuasaan dengan politik dalam pandangan Islam?
Beberapa sub masalahnya dari rumusan masalah yang
dijelaskan.
C.
Pengertian
Judul dan Batasan operasional
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kesalahan interprestasi di kalangan pembaca terhadap judul skripsi ini, maka
penulis perlu mengemukakan pengertian judul dan batasan operasionalnya sebagai
berikut:
“Kekuasaan”
berasal dari kata “kuasa” artinya, kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat
sesuatu dengan kekuatan,[5]
kedudukan atau jabatan tertinggi dalam sebuah lembaga atau negara yang
sementara diduduki oleh seorang kepala negara yang dipilih secara demokratis
maupun secara turunan atau aklamasi.
Politik berasal dari kata politis (Inggris)
yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politis
berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[6]
Politik dalam bahasa Arab berarti siyasah (berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة)
yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.[7]
Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai kebijakan
negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani suatu masalah).[8]
Berdasarkan pendekatan itu pula dapat
dirangkum unsur-unsur politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. Muin Salim
sebagai berikut :
1.
Nilai-nilai
(ajaran-ajaran agama atau ajaran filsafat dan pemikiran manusia, secara sendiri-sendiri
atau bersama, yang ditransformasikan menjadi ideologi politik).
2.
Ideologi
politik yang pada satu sisi merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan
hukum, pengambilan kebijaksanaan politik dan penilaian terhadap aktifitas
politik. Pada sisi lain mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang hendak
dicapai.
3.
Konstitusi
yang berfungsi sebagai hukum dasar dan dasar keberadaan (struktural dan
fungsional) sistem politik dan negara bersangkutan.
4.
Aktivitas
politik yang dapat disimpulkan dalam berbagai fungsi-fungsi politik.
5.
Subjek
politik sebagai penyelenggara aktifitas politik dan yang terdiri dari
lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
6.
Tujuan-tujuan
politik baik yang merupakan tujuan antara ataupun tujuan akhir.
7.
Kekuasaan
politik atau kewenangan untuk menyelenggarakan aktifitas-aktifitas politik.[9]
Dari
definisi politik yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa politik adalah
kebijakan-kebijakan yang diambil dalam menangani urusan tertentu, baik
kebijakan dalam menangani urusan negara, urusan masyarakat, atau kebijakan
dalam urusan rumah tangga. Politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
politik dalam makna luas, yaitu dari urusan rumah tangga sampai urusan negara,
atau dalam istilah lain dari institusi keluarga hingga institusi formal tertinggi,
yaitu negara. Jadi, Kekuasaan perspektif Politik Islam adalah
upaya mengkaji konsep-konsep kekuasaan yang sejalan dengan politik Islam.
D.
Tinjauan
Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, diterjemahkan
beberapa karya yang berkaitan dengan beberapa tema.
1.
Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim dalam
bukunya Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an mengemukakan
beberapa unsur politik, yaitu : Nilai-nilai, Ideologi politik, konstitusi, aktifitas politik, subjek
politik, tujuan-tujuan politik, dan kekuasaan politik.
2.
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah menggunakan pengertian politik
dengan pendekatan holistik. Hasilnya ditemukan secara parsial dan implisit 3
unsur pokok, yaitu : a. Lembaga yang menjalankan aktifitas pemerintahan,
b. Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan,
dan c. Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi
sarana pengetahuan dan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai. [10]
3.
Nanang Tahqiq dalam bukunya Politik
Islam mengemukakan pendapat Al-Farabi, di antaranya : Al-Farabi
berpandangan bahwa masyarakat muncul dari keberadaan persatuan di antara
individu-individu saling membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat
mencukupi ataupun memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder.[11]
4.
Dr. Fatmawati, M. Ag. dalam Disertasinya
berjudul Implementasi Hak Politik Perempuan dalam Masyarakat islam di
Sulawesi Selatan mengemukakan makna
politik dalam arti yang luas. Politik tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan
dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada
kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga.
Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk
mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat
luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun
publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tetapi, dalam
perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah
politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri
atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan
masa depan yang masih panjang.[12]
E.
Metode
Penelitian
Dalam upaya memudahkan penulis membahas
skripsi, maka diperlukan metode yang sesuai dengan pembahasan yang dimaksud.
Hal ini akan membantu setiap pembahasan
sehingga dengan mudah dapat
sesuai dengan pembahasan. Berikut ini metode-metode yang penulis gunakan
antara lain:
1.
Metode pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis (kesejarahan)
yang dimaksudkan untuk melihat konsep-konsep kekuasaan dan politik Islam di
masa lampau dan Pendekatan syar’iy (hukum Islam) yang dimaksudkan untuk melihat
sejauh mana konsep Islam dalam hal kekuasaan politik.
2.
Metode pengumpulan
data
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan jalan membaca buku-buku
kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Data-data pustaka
yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisa, selanjutnya mengambil kesimpulan secara sistematis.
3.
Pengolahan data
a.
Metode induktif, yaitu
suatu metode penelitian dengan jalan mengumpulkan data-data yang bersifat
khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
b.
Metode deduktif, yaitu
suatu tekhnik pengolahan data dengan jalan mengumpulkan data-data yang bersifat
umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.
c.
Metode komparatif,
yaitu suatu metode penelitian dengan jalan mem-bandingkan beberapa data untuk
menemukan kekurangan dan kelebihan suatu data, kemudian menarik suatu kesimpulan.
F.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Dari rumusan masalah yang dipaparkan,
penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui pandangan Islam tentang
kekuasaan.
2.
Mengetahui pandangan Islam terhadap
politik.
3.
Mengetahui bentuk kekuasaan dalam Islam.
Kegunaan penelitian ini adalah memiliki
pengetahuan yang mapan terhadap peran penguasa dalam mewujudkan keadilan yang
sejati di masyarakat diantaranya sebagai berikut:
-
Dapat melengkapi pengetahuan tentang
dunia kiai yang sampai saat ini masih terus dalam perdebatan, terutama ketika
mereka bersentuhan dengan politik.
-
Bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia, kajian ini diharapkan dapat menyediakan perspektif komparatif
tentang berbagai gejala pembusukan nation
state di berbagai belahan dunia.
-
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
kajian ini diharapkan bisa memperkaya penggalian wacana tentang gejala
kekuasaan modern yang sering kali mewarisi karakter spesifik negara absolute.
-
Secara praktis, penelitian ini
diharapkan juga bisa berguna bagi para penentu kebijakan negara sebagai masukan
yang berharga dan bersifat ilmiah dalam rangka mengambil keputusan yang tepat,
khususnya yang berkaitan dengan interaksi agama dan negara dalam konteks recovery ekonomi dan menuntaskan konflik
SARA yang masih berlangsung hingga sekarang.
G. Garis
Besar Isi
Adapun
penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang garis besarnya sebagai
berikut:
Bab
satu, merupakan bab pendahuluan yang memuat Latar belakang, rumusan masalah,
Pengertian judul dan defenisi opersional, tinjauan pustaka, metode penelitian,
tujuan dan kegunaan penelitian serta garis besar isi.
Bab dua, penulis menguraikan tentang
tinjauan teoritis tentang kekuasaan, pengertian kekuasaan, sumber-sumber
kekuasaan, dan bentuk-bentuk kekuasaan. Bab tiga, penulis menguraikan tentang
Politik Islam, pengertian politik Islam, pemikiran politik Islam, dan Etika
Politik Islam. Bab empat
menguraikan tentang Analisis kekuasaan dalam Politik Islam, Konsep Kekuasaan
Dalam Politik Islam, Hubungan Kekuasaan Dengan Politik Islam, dan Analisis
Hubungan Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif Dalam Pemerintahan
Islam. Bab lima, sebagai bab penutup, memuat kesimpulan dan implikasi.
BAB II
KONSEP KEKUASAAN
A. Pengertian
Kekuasaan
Istilah
kekuasaan terbentuk dari kata kuasa dengan imbuhan awalan ke dan akhiran an.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kekuasaan diberi arti
dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya); kemampuan;
kesanggupan; kekuatan.[13]
Sedang kata kuasa sendiri diberi arti :
1.
Kemampuan atau kesanggupan (untuk
berbuat sesuatu); kekuatan (selain badan atau benda)
2.
Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili,
mengurus, dan sebagainya) sesuatu
3.
Orang yang diberi kewenangan untuk
mengurus (mewakili dan sebagainya)
4.
Mampu, sanggup, kuat
5.
Pengaruh (gengsi, kesaktian dan
sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatannya (martabatnya).[14]
|
Robert
A. Dahl mengemukakan bahwa istilah kekuasaan mencakup kategori hubumgan
kemanusiaan yang luas, misalnya, hubungan yang berisi pengaruh, otoritas,
persuasi, dorongan, kekerasan, tekanan, dan kekuatan fisik.[15]
Tetapi dalam karyanya yang berjudul Modenr Political Analisis, ia
mengemukakan bahwa kekuasaan adalah sejenis pengaruh yang disertai dorongan
berupa sanksi bagi yang melanggar.[16]
Kedua konsep pernyataan ini tidak konsisten, sebab dalam pernyataan pertama
konsep kekuasaan bersifat umum mencakup segala jenis hubungan yang disertai
pengaruh dan sanksi. Sifat inkonsistensi pendapat ini tidak dipersoalkan karena
Dahl memang mengakui bahwa beberapa istilah politics, termasuk “control”,”power”,”authority”
dan “influence” mempunyai arti yang sukar dipahami dan kompleks. Hal itu
menyebabkan banyak ilmuwan menggunakannya tanpa memberi batasan hanya karena
asumsi bahwa makna yang dimaksud telah dipahami pembacanya. Dahl sendiri
menggunakan istilah-istilah tersebut dan saling mempertukarkan tempatnya
apabila hal itu memungkinkan.[17]
Pandangan
yang serupa dikemukakan Harold D. Lasswell dalam artikelnya “Psychology and
Political Science in the U.S.A”. Dengan pendekatan psikologis, ia melihat
kekuasaan sebagai hubungan kemanusiaan yang diharapkan terwujud, dan dalam
kenyataannya, diberi sanksi berupa hukuman yang keras.[18]
Membahas
masalah kekuasan nampaknya merupakan suatu hal yang sangat penting karena
hakekat dari pada kepemimpinan adalah masalah pengaruh dan hakekat dari
pengaruh adalah kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Joseph Reitz dan Linda N
Jewell (1985), yang mengatakan “influence is the process by which managers
affect other behavior”. “Power is the ability to exert influence”.
Keberhasilan
seorang pemimpin banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami situasi
serta ketrampilan dalam menentukan macam kekuasaan yang tepat untuk merespon
tuntutan situasi. Kekuasan seperti dikemukan oleh Gary A Yukl (1989) adalah
potensi agen untuk memengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person),
sementara David dan Newstroom (1989) membedakan kekuasaan dan kewenangan,
kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain sedangkan wewenang
merupakan pendelegasian dari manajemen yang lebih tinggi.
B. Sumber-Sumber
Kekuasaan
Ada pun
sumber kekuasaan itu sendiri ada 3 macam,yaitu:[19]
1. Kekuasaan yang bersumber
pada kedudukan
a. Kekuasaan
formal atau Legal (French & Raven 1959). Contohnya komandan tentara, kepala
dinas, presiden atau perdana menteri. Kendali atas sumber dan ganjaran (French
& Raven 1959). Contoh : Majikan yang menggaji karyawannya, pemilik
sawah yang mengupah buruhnya, kepala suku atau kepala kantor yang dapat
memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya.
b.
Kendali atas hukum (French & Raven
1959). Kepemimpinan yang didasarkan pada rasa takut. Contohnya preman-preman
yang memunguti pajak dari pemilik toko. Para pemilik toko informal menuruti
kehendak para preman itu karena takut mendapat perlakuan kasar. Demikian pula
anak kelas satu SMP yang takut pada senior kelasnya yang galak dan suka memukul
sehingga kehendak seniornya itu selalu dituruti.
c.
Kendali atas informasi (Pettigrew,
1972). Siapa yang menguasai informasi dapat menjadi pemimpin. Contohnya orang
yang paling tahu jalan diantara serombongan pendaki gunung yang tersesat akan
menjadi seorang pemimpin. Ulama akan menjadi pemimpin dalam agama. Ilmuan
menjadi pemimpin dalam ilmu pengetahuan.
d. Kendali ekologik (lingkungan). Sumber
kekuasaan ini dinamakan juga perekayasaan situasi . Meliputi :
•
Kendali atas penempatan jabatan. Seorang atasan atau manager mempunyai
kekuasaan atas bawahannya karena ia boleh menentukan posisi anggotanya.
• Kendali atas tata
lingkungan. Kepala dinas tata kota berhak memberi izin bangunan.
Orang-orang ini menjadi pemimpin karena kendalinya atas penataan lingkungan.
Kekuasaan Berdasarkan Kedudukan
memiliki pengaruh potensial yang berasal dari kewenangan yang sah karena
kedudukannya dalam organisasi terdiri dari: Kewenangan Formal dan Kekuasaan
Pribadi.
Kewenangan Formal, yaitu kewenangan
yang mengacu pada hak prerogatif, kewajiban dan tanggung jawab seseorang
berkaitan dengan kedudukannya dalam organisasi atau sistem sosial.
Kontrol terhadap sumber daya dan
imbalan, merupakan kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya dan imbalan
terkait dengan kedudukan formal. Makin tinggi posisi seseorang dalam hirarki organisasi,
makin banyak kontrol yang dimiliki orang tersebut terhadap sumber daya yang
terbatas. Kontrol terhadap hukuman merupakan kapasitas untuk mencegah seseorang
memperoleh imbalan.. Kontrol terhadap informasi menyangkut kontrol terhadap
akses terhadap informasi penting maupun kontrol terhadap distribusinya kepada
orang lain. Kontrol ekologis menyangkut kontrol terhadap lingkungan fisik,
teknologi dan metode pengorganisasian pekerjaan
2. Kekuasaan yang bersumber
pada kepribadian
Berasal dari sifat-sifat pribadi.
a. Keahlian atau keterampilan (French & Raven 1959). Contohnya
pasien-pasien di rumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin karena
dokterlah yang dianggap sebagai ahli untuk menyembuhkan penyakitnya.
b. Persahabatan
atau kesetiaan (French & Raven 1959). Sifat dapat bergaul, setia kawan atau
setia kepada kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang
dianggap sebagai pemimpin. Contohnya pemimpin yayasan panti asuhan dipilih
karena memiliki sifat seperti Ibu Theresa.
c. Kharisma
(House,1977). Ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi
dari pemimpin juga merupakan salah satu sumber kekuasaan dalam proses
kepemimpinan.
Kekuasaan pribadi menjelaskan bahwa
kelompok sumber kekuasaan berdasarkan kedudukan akan berlimpah pada orang-orang
yang secara hirarki mempunyai kedudukan dalam organisasi. Pengaruh potensial
yang melekat pada keunggulan individu terdiri dari: Kekuasaan keahlian (expert
power), Kekuasaan kesetiaan (referent power), dan Kekuasaan karisma.[20]
Kekuasaan keahlian (expert power)
merupakan kekuasaan yang bersumber dari keahlian dalam memecahkan masalah
tugas-tugas penting. Semakin tergantung pihak lain terhadap keahlian seseorang,
semakin bertambah kekuasaan keahlian (expert power) orang tersebut. [21]
Kekuasaan kesetiaan (referene
power) merupakan potensi seseorang yang menyebabkan orang lain mengagumi
dan memenuhi permintaan orang tersebut. Referente power terkait dengan
keterampilan interaksi antar pribadi, seperti pesona, kebijaksanaan, diplomasi
dan empati.[22]
Maksud dari kekuasaan kesetiaan
adalah sebuah potensi dimiliki oleh seseorang yang menjadikannya dikagumi sama
orang lain, sehingga pengaruh darinya terhadap orang lain dengan bijaksana
setiap orang yang dipengaruhinya akan melaksanakan dengan sendirinya.
Kekuasaan karisma merupakan sifat
bawaan dari seseorang yang mencakup penampilan, karakter dan kepribadian yang
mampu memengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu.[23]
3.
Kekuasaan yang bersumber pada politik
a. Kendali atas proses pembuatan keputusan (Preffer &
Salanick, 1974). Ketua menentukan apakah suatu keputusan akan dibuat dan
dilaksanakan atau tidak.
b. Koalisi (stevenson, pearce & porter 1985).
Ditentukan hak dan wewenang untuk membuat kerjasama dalam kelompok.
c. Partisipasi
(Preffer, 1981). Pemimpin yang mengatur pastisipasi dari masing-masing
anggotanya.
d. Institusionalisasi.
Pemimpin agama menikahkan suami istri. Notaris atau hakim menetapkan berdirinya
suatu perusahaan
C. Bentuk-Bentuk
Kekuasaan
Gagasan tradisional tentang
kekuasaan difokuskan pada individu dan pelaksanaan kekuasaannya. Kekuasaan
adalah sesuatu yang dipegang dan ditangani manusia, berdasarkan sumber-sumber
kekuasaan tertentu. French dan Raven (1959) menyatakan bahwa A dapat
memiliki kekuasaan atas B berdasarkan pada lima jenis kekuasaan. Dasar-dasar
kekuasaan ini dibedakan oleh arti tindakan A terhadap B dan hubungan yang
mereka hasilkan:[24]
1. Kekuasaan memberi ganjaran (Reward
Power) adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada
yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin
mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan
yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi
atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang
lebih menantang dsb. Contoh: Apabila seorang pegawai dapat bekerja melebihi
target, maka karyawan tersebut akan mendapat insentif berupa uang.
2. Kekuasaan yang memaksa (Coercive Power)
yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi
hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila
dia tidak mematuhinya, akan ada efek negative yang bisa timbul. Pemimpin yang
bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan
arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak
senang, ataupun faktor-faktor subjektif lainnya. Contoh: seorang pajurit datang
terlambat saat bekerja, maka komandannya akan member hukuman.
3. Kekuasaan yang sah (Legitimate Power)
yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya
dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau
wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus
didengar dan dipatuhi oleh anak dan anak
buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya,
seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang
pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Contoh: seorang dosen akan mulai
memberikan materi saat isi kelas diam dan tenang, apabila di dalam kelas masih
gaduh maka dosen tidak mau mengajar.
4. Kekuasaan referen (Referent Power)
adalah kekuasaan yang timbul karena kharisma, karakteristik individu,
keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis
kekuasaan ini adalah apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat
berkuasa atas saya. Contoh: dalam suatu partai politik, si B terpilih menjadi
ketua partai tersebut karena ia dipandang sebagai pribadi yang baik, bersahaja
dan mengayomi.
5. Kekuasaan ahli (Expert Power) yakni
kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu
bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa
pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan
teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut
memerlukan kepakarannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang
oleh referent power dan legitimate power. Contoh: seorang
pasien percaya pada hasil diagnose dokter atas penyakit yang dideritanya,
seseorang percaya pada seorang ilmuwan pada bidang, karena ilmuwan tersebut
telah membuktikan hasil penelitianya.
Sementara
itu, French dan Raven (Gary A Yukl, 1994) mengidentifikasi ada lima bentuk
kekuasaan yang dirasakan mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1.
Kekuasaan ganjaran merupakan
suatu kekuasan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargaan atau
pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya.
2.
Kekuasaan paksaan yaitu suatu
kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang pengikut merasa bahwa
kegagalan memenuhi permintaan seorang pemimpin dapat menyebabkan dijatuhkannya
sesuatu bentuk hukuman.
3.
Kekuasaan legal yaitu suatu
kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam kelompok atau
hirarhi keorganisasian.
4.
Kekuasaan keahlian yaitu
kekuasasaan yang didasarkan atas ketrampilan khusus, keahlian atau pengetahuan
yang dimiliki oleh pemimpin dimana para pengikutnya menganggap bahwa orang itu
mempunyai keahlian yang relevan dan yakin keahliannya itu melebihi keahlian
mereka sendiri.
5.
Kekuasaan acuan yaitu suatu
kekuasaan yang didasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpin dikagumi
oleh para pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas, bentuk kekuasaan ini
secara populer dinamakan kharisma. Pemimpin yang memiliki daya kharisma yang
tinggi dapat meningkatkan semangat dan menarik pengikutnya untuk melakukan
sesuatu, pemimpin yang demikian tidak hanya diterima secara mutlak namun
diikuti sepenuhnya.
Kelima
kekuasaan tersebut oleh John M Ivancevuch dan Michhael T Matteson (1987) dibagi
dalm dua katogeri utama yaitu organisasi dan pribadi. Kekuasaan ganjaran dan
kekuasaan dan kekuasaan paksaan terutama ditentukan oleh organisasi, kedudukan
dan kelompok-kelompok resmi. Kekuasaan legitimasi seseorang dapat diubah dengan
perpindahan orang, penataan kembali job discription atau pengurangan kekuasaan
melalui restrukturisasi organisasi.
Sedangkan
kekuasan keahlian dan kekuasaan referensi sangat pribadi, kekuasan tersebut
merupakan hasil dari keahlian individu. Kemampuan seseorang dalam mengakses
sumber-sumber, informasi serta dukungan merupakan sumber kekuasaan seperti yang
dikemukakan dari hasil penelitiannya Rosabeth M Kanter (1979), ia mengemukakan
keyakinannya bahwa akar dari kekuasaan :
• Akses terhadap
sumber-sumber, informasi dan dukungan
• Kemampuan untuk dapat
bekerja sama dalam melakukan pekerjaan yang penting kekuasaan terjadi ketika
seseorang telah mempunyai saluran terhadap sumber-sumber keuangan,
sumber-sumber manusia, teknologi, bahan-bahan, langganan dan sebagainya.
6.
Kekuasaan informasi. Dalam
perkembangan berikutnya Raven bekerjasama dengan Kruglanski menambah kekuasaan
yang keenam yaitu kekuasaan informasi. Kekuasaan informasi adalah kemampuan
pemimpin untuk memengaruhi perilaku bawahannya dengan menggunakan kelebihannya
memiliki beberapa keterangan yang diperlukan.
7.
Kekuasaan hubungan. Pada tahun
1979 Hersey dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan ke tujuh yaitu kekuasaan
hubungan atau connection power. Kekuasaan hubungan adalah kemampuan pemimpin
untuk memengaruhi perilaku bawahannya dengan menggunakan adanya hubungan baik
dirinya dengan orang-orang tertentu yang dipandang penting dan berpengaruh baik
diluar maupun didalam organisasi
BAB III
POLITIK ISLAM
A. Pengertian
Politik Islam
Politik berasal dari kata politics (Inggris)
yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politisc
berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[25]
Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian
segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai
kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah).[26]
Jadi, politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan
seperangkat undang-undang untuk menjadi kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang
merugikan bagi kepentingan manusia.
|
Politik dalam bahasa Arab berarti siyasah
(berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga
berarti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan.[29]
Menurut al-Maqrizi –sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf- arti kata siyasah
adalah mengatur.[30]
Kata ساس
sama dengan to govern, to lead. Siyasah sama dengan polisi.[31]
Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur,
mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik.
Artinya, mengatur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang
bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.
Secara terminologis, siyasah dalam Lisan
al-Arab berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada
kemaslahatan.[32]
Dalam al-Munjid, siyasah
adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam dan luar negeri serta kemasyarakatan yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.[33] Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai undang-undang yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.[34]
adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam dan luar negeri serta kemasyarakatan yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.[33] Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai undang-undang yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.[34]
Pada prinsipnya, definisi yang dikemukakan
memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus
manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada
kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan.[35]
Tiga definisi yang dikemukakan oleh Ibnu
Manzhur, Louis Ma’louf dan Abdul Wahab Khallaf
adalah definisi siyasah dalam arti yang umum, yaitu siyasah yang
tidak memperhatikan nilai-nilai syariat meskipun tujuannya adalah kemaslahatan.
Corak siyasah ini dikenal dengan siyasat wadh’iyah, yaitu siyasah
yang berdasar pada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil olah
pemikiran manusia dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dan bernegara.
Meski demikian, tidak semua siyasat wadh’iyah ditolak atau tidak
diterima, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan ruh Islam.[36]
Abdul Wahab Khallaf memaknai siyasah
syar’iyah adalah pengelolaan masalah umum bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya
kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum, meskipun tidak sesuai dengan
pendapat para imam mujtahid.[37]
Sedang menurut Abdur Rahman Taj, siyasah syar’iyah adalah hukum-hukum
yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan
dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-dasar yang universal (kulli)
untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat ke-masyarakatan, sekalipun
hal itu ditujukan untuk nash-nash tafshili yang juz’iy dalam
al-Qur’an dan Sunnah.
Definisi-definisi tersebut menegaskan
bahwa wewenang membuat segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan
dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan
kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil
amri). Karenanya, segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan siyasi
yang dibuat oleh pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh
masyarakat selama produk itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa
syariat.[38]
Beberapa pakar yang juga mendefinisikan
politik sebagai berikut :
1.
Ibnul Qayyim mengatakan, politik merupakan
kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan
menjauhkan diri dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan
Allah tidak mewahyukannya.[39]
Siyasah dalam definisi Ibnul Qayyim
ini adalah siyasah yang bersifat khusus, yaitu siyasah yang
berorientasi pada nilai-nilai kewahyuan dan syariat, atau dikenal dengan siyasah
syar’iyah atau fikih siyasah. Siyasah syar’iyah adalah siyasah
yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral
dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup
bermasyarakat dan bernegara.[40]
2.
Abdul Qadim Zallum, politik/siyasah adalah
mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan
tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi –melakukan muhasabah
terhadap- pemerintah dalam melakukan tugasnya.[41]
3.
Tijani Abdul Qadir Hamid mengutip definisi
politik dari Kamus Litre (1870) sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara.
Sedang dalam Kamus Robert (1962), politik adalah seni memerintah dan mengatur
masyarakat manusia.[42]
4.
Deliar Noer mendefenisikan politik sebagai
segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang
bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu
macam bentuk susunan masyarakat.[43]
5.
Miriam Budiarjo memaknai politik itu sebagai
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau Negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).[44]
Para pemikir dan ilmuwan politik tidak
sepakat tentang terminologi politik, oleh karenanya digunakanlah pengertian
politik dengan pendekatan holistik. Hasilnya ditemukan secara parsial dan
implisit 3 unsur pokok, yaitu :
- Lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan
- Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan
- Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengetahuan dan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai.[45]
Berdasarkan pendekatan itupula dapat
dirangkum unsur-unsur politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. Muin Salim
sebagai berikut :
8.
Nilai-nilai (ajaran-ajaran agama atau ajaran
filsafat dan pemikiran manusia, secara sendiri-sendiri atau bersama, yang
ditransfor-masikan menjadi ideologi politik).
9.
Ideologi politik yang pada satu sisi merupakan
pedoman dan kriteria pembuatan aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan politik
dan penilaian terhadap aktifitas politik. Pada sisi lain mengungkapkan
tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai.
10.
Konstitusi yang berfungsi sebagai hukum dasar
dan dasar keberadaan (struktural dan fungsional) sistem politik dan negara
bersangkutan.
11.
Aktivitas politik yang dapat disimpulkan dalam
berbagai fungsi-fungsi politik.
12.
Subjek politik sebagai penyelenggara aktifitas
politik dan yang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
13.
Tujuan-tujuan politik baik yang merupakan tujuan
antara ataupun tujuan akhir.
14.
Kekuasaan politik atau kewenangan untuk
menyelenggarakan aktifitas-aktifitas politik.[46]
Dari beberapa definisi yang telah
dikemukakan, penulis mengambil makna politik dalam arti yang luas. Politik
tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam urusan pemerintahan dalam dan
luar negeri, tetapi termasuk pada kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil
sekalipun –seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara
mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan
akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu
sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun
struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam perkembangannya, politik
memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik
struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan
sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih
panjang.
Bertolak dari pengertian di atas, politik
mengandung dua makna, yaitu politik dalam arti luas –sebagaimana dikemukakan di
atas-, dan politik dalam arti sempit, yaitu politik yang merupakan tanggung
jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat dan masyarakat secara
keseluruhan. Politik praktis yang sejalan dengan syariat Islam adalah politik
yang tidak terlihat didalamnya perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidakadilan,
dan lain-lain, karena Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan
umat di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran penguasa atau
keinginan sekelompok orang. Penguasa hanyalah pelaksana politik yang bersumber
dari hukum-hukum Allah swt., sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan
pengoreksi kehidupan politik agar senantiasa berada dalam rel hukum syara.
Dalam
kaitan dengan pelaksanaan kepemimpinan politik –baik dalam arti luas maupun
sempit-, Allah memberi panduan dalam al-Qur’an. Hal ini diuraikan dalam 2 ayat,
yaitu QS. al-Nisa (4): 58-59 :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahnya :
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.[47]
Dalam
sebuah riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu Makkah (pembebasan
Makkah) Rasulullah saw. memanggil Usman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah.
Ketika Usman menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan
berkata : “Ya Rasulallah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku untuk saya
rangkap jabatan itu dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Usman menarik
kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikan kunci itu kepadaku
wahai Usman!. Usman berkata : “Inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah
Rasulullah saw. Membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah.
Turunlah Jibril membawa perintah agar kunci itu diserahkan kembali kepada
Usman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di
atas.[48]
Ayat
selanjutnya QS. al-Nisa (4): 59:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Terjemahnya :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[49]
Kedua
ayat di atas mengandung 4 tuntunan dalam melaksanakan kepemimpinan politik,
yaitu :
1. Harus Amanah
2. Harus adil
3. Harus taat kepada Allah, Rasul, dan ulil
amri
4. Harus mengembalikan segala persoalan yang
dihadapi kepada Allah dan Rasul-Nya.
1) Amanah dalam menjalankan
kepemimpinan politik
Amanah
berasal dari bahasa Arab امانة.
Amanah adalah bentuk mashdar dari amina-ya’munu/amina ya’manu yang
berarti jujur atau bisa dipercaya. Jamaknya adalah amanat.[50]
Dalam Bahasa Indonesia, amanah berarti kerabat, ketenteraman, atau dapat
dipercaya, pesan, perintah, keterangan, atau wejangan.[51]
Amanah juga berarti sesuatu yang dipercayakan.[52]
Secara umum, amanat adalah memegang hak orang lain, sehingga wajib
menunaikannya kepada orang yang berhak. Hak itu dapat berbentuk materi dan non
materi.[53]
Dalam kaitannya dengan QS. al-Nisa (4): 58
di atas, amanat berkedudukan sebagai isim maf’ul (kata sifat sebagai
obyek) dengan pengertian segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada
orang lain dengan rasa aman.[54]
Kata amanah dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 6 kali dalam
al-Qur’an.[55]
Term
amanat dalam ayat di atas dimaknai,
yaitu amanat dalam arti sempit dan dalam arti yang luas. Ulama yang
memaknai amanat secara sempit, seperti Ibnu Jarir al-Thabary yang mengemukakan
bahwa QS. 4:58 ini ditujukan kepada para pemimpin agar mereka menunaikan
hak-hak umat Islam dalam hal pembagian harta rampasan perang dan penyelesaian
perkara umat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan
adil.[56]
Demikian pula Ibnu Taimiyah memandang amanat mencakup dua konsep, yakni
kekuasaan (al-wilayat) dan harta benda.[57]
Sementara Muhammad Abduh mengaitkan kata amanat dengan pengetahuan dan
memperkenalkan istilah amanat al-‘ilm yang
berarti tanggung jawab mengakui dan mengembangkan kebenaran.[58]
Amanat
dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh al-Maragi dan Tanthawi Jauhari.
Al-Maragi misalnya membagi amanat itu kepada 3 hal, yaitu (1) tanggung jawab
manusia kepada Tuhan, (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya, dan (3)
tanggung jawab manusia kepada dirinya.[59]
Sedang Tanthawi Jauhari menyimpulkan makna amanat sebagai segala yang
dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau
segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.[60]
Abd.
Muin Salim mengomentari bahwa perbedaan pendapat tersebut, disebabkan oleh
perbedaan pendekatan yang dipergunakan oleh para ulama. Al-Thabary mengajukan
konsep amanat yang legalistis sehingga mencakup hak-hak sipil. Ibnu Taymiyah
melihat amanat sebagai konsep yang mencakup hak-hak sipil dan publik. Muhammad
Abduh menggunakan pendekatan sosio-kultural, sedang al-Maragi melihat konsep
amanat itu dari sudut kepada siapa amanat itu akan dipertanggung jawabkan, yang
kemudian disimpulkan oleh Tanthawi Jauhari
dengan melihat amanat secara umum.[61]
Mengenai penafsiran QS. al-Nisa (5): 58 di
atas, Quraish Shihab mengemukakan bahwa tuntunan Allah kali ini sangat
ditekankan, karena ayat ini langsung menyebut Allah sebagai Penuntun dan
Pemberi Perintah.[62]
Quraish Shihab menafsirkannya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung. Yang wajib
Wujud-Nya serta menyandang segala sifat terpuji lagi suci dari sifat tercela, menyuruh
kamu menunaikan amanat-amanat secara sempurna dan tepat waktu kepada
pemiliknya, yakni yang berhak menerimanya, baik amanat Allah kepada kamu,
maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkan kepada kamu, dan
Allah juga menyuruh kamu apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia,
baik yang berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan, maka kamu
harus menetapkan putusan dengan adil sesuai dengan apa yang diajarkan
Allah swt., tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan
sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau lawanmu dan tidak
pula memihak kepada temanmu. Sesungguhnya Allah dengan memerintahkan
menunaikan amanah dan menetapkan hukum dengan adil, telah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Karena itu berupayalah sekuat tenaga untuk
melaksanakannya, dan ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal ini
mengawasi kamu, dan sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini adalah Maha
Mendengar apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain, maupun dengan
hati kecilmu sendiri, lagi Maha Melihat sikap dan tingkah laku kamu.[63]
QS. al-Nisa ayat 58 di atas menggunakan
bentuk jamak dari kata amanah. Hal ini berarti bahwa banyak sekali
amanah yang diemban oleh manusia.[64]
Amanah bukan sekedar sesuatu yang bersifat materiil, tetapi juga non materiil
dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan.
Amanah adalah salah satu prinsip
kepemimpinan. Nilai dasar dari
kepemimpinan adalah amanah, karenanya amanah meminta sebuah pertanggungjawaban.[65]
Kekuasaan itu juga adalah amanah, karena
itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah pula. Hal ini mengandung dua makna,
yaitu : pertama, apabila manusia berkuasa (menjadi khalifah) di muka
bumi, maka kekuasaan yang diperolehnya sebagai suatu pendelegasian kewenangan
dari Allah (delegation of authority), karena Allah sebagai sumber segala
kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah
dari Allah yang bersifat relatif. Kedua, karena kekuasaan pada dasarnya
amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah
sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.[66]
2) Adil dalam menetapkan
hukum
Secara
kontekstual, perintah dalam ayat 58 di atas tidak hanya ditujukan kepada
kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi ditujukan kepada
setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang-orang lain, seperti suami
terhadap isteri-isterinya,[67]
dan orang tua terhadap anak-anaknya.
Mengenai
makna ‘adl dalam ayat di atas, para
mufassir pun berbeda pendapat. Al-Baidhawi mengatakan bahwa ‘adl
bermakna al-Inshaf wa al-sawiyyat “berada di pertengahan dan
mempersamakan”.[68] Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan Sayyid Quthb bahwa dasar persamaan itu adalah sifat
kemanusiaan yang dimiliki seseorang.[69]
Sementara
itu al-Maragi tidak melihat keadilan itu dari segi persamaan hak, tetapi lebih
pada terpenuhinya hak-hak seseorang. Ibnu Jarir dan al-Qurthubi menghubungkan
adil itu dengan hukum agama,[70]
serta al-Syaukaniy yang dengan tegas mengemukakan pandangannya bahwa adil itu
adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah, tidak berdasar pada pikiran.[71]
Penyelesaian perkara yang dimaksudkan adalah baik perkara sesama manusia maupun
perkara antara ummat dengan pemimpinnya.
3) Taat kepada Allah,
Rasulullah, dan ulil amri
Setelah Allah memerintahkan
untuk menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, maka Allah kembali
mempertegas agar orang yang beriman itu mentaati Allah, Rasul dan ulil amri.
Sebagian ulama melihat bahwa hubungan ayat 58 dan 59 ini adalah bentuk hubungan
pemerintah dengan rakyatnya.[72]
Perintah untuk mentaati Allah
dan Rasul-Nya adalah perintah yang bersifat mutlak, tidak ada lagi bantahan di
dalamnya. Sedang perintah untuk mentaati ulil amri/pemerintah merupakan
perintah yang tidak mutlak. Ketaatan rakyat pada pemimpinnya hanya berlaku
mutlak apabila perintah itu sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, perintah pemimpin menjadi tidak wajib ditaati, apabila bertentangan
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh al-Razi dengan menukil pendapat Ali bin Abi Thalib bahwa imam
wajib menetapkan hukum dengan hukum Tuhan dan menunaikan amanat. Jika ia telah
melakukan hal itu, maka rakyat wajib mendengar dan mentaatinya. [73]
4) Menyelesaikan perselisihan dengan
mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat
di atas memberikan pesan dan nasihat yang sangat berharga untuk dijadikan
pegangan. Dalam menjalani sebuah kepemimpinan apapun –terlebih pada tampuk
kepemimpinan tertinggi sebuah negara- ketika menghadapi persoalan-persoalan
pelik yang sulit untuk diselesaikan maka diperintahkan untuk mengembalikan
segala permasalahan itu kepada Allah dan RasulNya. Hal ini berarti bahwa ketika
jalur musyawarah sudah menempuh jalan buntu, maka solusi terbaik bagi kaum
beriman adalah dengan kembali merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua ayat di atas seharusnya
menjadi pegangan dan rujukan bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Aturan tersebut menjadi
barometer kebolehan seseorang menjadi pemimpin, yang mengandung makna bahwa
apabila keempat kandungan pokok QS. al-Nisa (4): 58-59 itu tidak mampu
diimplementasikan dan diejawantahkan dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan,
maka seorang muslim –laki-laki maupun perempuan- harus berlapang dada untuk
tidak memegang jabatan kepemimpinan apapun, apalagi untuk menawarkan diri untuk
memangku jabatan.
B. Pemikiran Politik
Islam
Ada beberapa Kategorisasi atau
tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler
dan moderat.[74]
1.
Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik
Tradisional.[75]
Tipologi ini melihat
bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan
agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang
menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara
berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau
bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir
politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam
pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap
dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk
tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.
a. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai
seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga
kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka
bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap
despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata
politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan
umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk
mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan
pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun
menghendakinya.
Tentu saja ahl al-hall
wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya
saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa
klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli
fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan
tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan
saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka
masyarakat dari berbagai bidang.
Selain itu, berbeda
dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya
juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah
penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus
dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun
pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana
Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun
Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan
dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.[76]
Ia merupakan penghubung
yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai
negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan
al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid
Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah
Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.
b. Sayyid Qutub dan
al-Maududi
Seperti halnya Rasyid
Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan
seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan,
mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan
penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara
penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun
sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan
penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga
al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia
adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya
menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat.[77]
Karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu,
manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah Theo-Demokrasi
berasal dari dua kata, theokrasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam
istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan
yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni
syari’at. Manusia diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
pejabat yang melanggar aturan Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara
jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum
muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi
kesempatan untuk menafsirkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang
yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau
membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya
tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.[78]
Pemikiran pembaruan
politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga
prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut,
yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate
(khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara
keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid berarti hanya
Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa,
segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala
perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun
yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut Maududi
adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan
melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan
perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang
berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.[79]
Khilafah, ia jelaskan
dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai
Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi.
Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima
prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini
adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap
manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan
tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah
perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan
menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan
kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah
itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian
dengan nama khilafah kolektif.[80]
Untuk memperjelas
mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi
memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada
orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat
syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola
harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga,
pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah
ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi
perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.[81]
2. Tipologi Pemikiran
Politik Islam Sekuler[82]
Kebalikan dari tipoligi
pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan
agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara.
Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi
al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924,
Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah
dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi
sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya
April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah
menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan
dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini
mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul
buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. [83]
Tesis utama dari buku ini
adalah:
a. Nabi Muhammad tidak
membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
b. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
c. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
b. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
c. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
d. Bahwa sistem ini telah
menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia
digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya,
buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.
1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2. Dalam bagia kedua
diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau
misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah
kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3. Dalam bagian ketiga dan
terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan
dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang
Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara
Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling
mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad
Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut
dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di
bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun
keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd
al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an
maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti
yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas
baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus
dibangun umat Islam.[84]
Ali Abd al-Raziq bahkan
lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang
berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai
kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan
tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada
mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa
kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah
bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah
Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd
al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya
antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan
teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan
politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan
jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan
Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun
kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut
tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama
sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak
perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan
perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam
dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan
kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu
pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali
menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak
bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi
politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq
pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada
dasarnya bersifat sekuler.[85]
Orang lain yang memiliki
persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya
agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara,
kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme
karenanya tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi
al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani,
gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran
ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah
prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan
dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah
mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas
manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya,
menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas
gagasan nasionalisme Mesir.
Perlu juga disebutkan
bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak
dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri
dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh
hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari
kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh
Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.
3. Tipologi Pemikiran
Politik Islam Moderat[86]
Berbeda dengan dua
kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi
ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur
semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang
melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini,
kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu,
tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan
bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir
1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
1.
Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan
sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan
dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan
dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan
langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila
empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at
masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan.
Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik
agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar
(Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca
dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia
termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah
(hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia
sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu
diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.
2. Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh
sebelum Haikal dan guru dari Ridha maupun Raziq, tampaknya masuk kategori
ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan.
Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan
maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini
me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu
pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi
perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep
teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di
atas.[87]
Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan
rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan
yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi
pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena
sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti
yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak
memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam
tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan
orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki
kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik.
Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak
berlandaskan agama.[88]
Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak
mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan
kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas
nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak
membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan
urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk
memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang
lain.
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip
dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah
Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas
akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan
pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang
muslim, bagaimanapun tinggi kedudukannya, yang mempunyai hak untuk memberikan
nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang
atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan
menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi,
seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.
Pendapat Abduh di atas seperti
mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik
Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau
khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab
kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah
seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak
manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.[89]
Abduh mengakui bahwa Islam itu bukan agama
semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama
muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya
memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya. Menurutnya, tugas itu
merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi
kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab
kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan
kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di
bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku
dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh
menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan
keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak
mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam
atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak
dapat dipaksakan.[90]
Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh
mentaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan
orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang
lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.
Dengan kekuasaan politik, Abduh
menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang
mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan
munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip
Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang
adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik
negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan
kondisi negara setempat.
Dari pendapat-pendapat Abduh di atas,
Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa
pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk
memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang
negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak
meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima
negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran
keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih
penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena
baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus
melaksanakan prinsip-prinsip Islam.
3. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi
Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu
Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut
bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam
adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman
menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada
ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang
tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat
yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan
tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.[91]
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan
konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat
kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa
al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja
konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut,
berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat
material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia
mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al-
Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga
berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan
wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di
Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu
dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun
menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan
sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan
sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan
wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara
demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo
kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep
dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.[92]
Dalam pandangannya, kendati penerapan
konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah
mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi
dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya
disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim.
Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya
Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari
oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara
Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang
sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra,
ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan
masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota
masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya
secara harmonis.
C. Etika Politik Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang paripurna. Dia bukan saja berisi aqidah
tentang berbagai keimanan kepada Allah SWT pencipta alam semesta serta hari
akhirat dengan segala keindahan dan kenikmatan sorga maupun dahsyatnya siksa
neraka, tapi juga berisi tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia,
baik berkaitan dengan hubungannya dengan Allah SWT, hubungannya dengan dirinya
sendiri, maupun hubungannya dengan manusia lainnya. Dari sinilah fatsoen
politik Islam dibangun. [93]
Etika politik pemerintahan Islam tentunya
mengacu kepada prinsip-prinsip pemerintahan Islam (qawaid nizamil hukm).
Dalam sistem pemerintahan Islam dikenal empat prinsip utama, yakni: (1)
Kedaulatan di tangan syara’; (2) Kekuasaan di tangan umat; (3) Mengangkat satu
Khalifah fardlu bagi seluruh kaum muslimin; (4) Khalifahlah pihak yang berhak
mengadopsi hukum syara’ untuk dijadikan undang-undang.[94]
Makna Kedaulatan Hukum Syariat
Kalau ada orang yang membanggakan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum, itu sebenarnya adalah kebanggaan semu.
Sebab, hukum positif yang kini berlaku adalah hukum buatan manusia yang
bisa diubah kapan saja. Bahkan undang-undang dan konstitusinya bisa
diamandemen kapan saja. Sehingga pemberlakuan hukum itu sangat relative
dan lebih dari itu antara produk hukum yang satu dengan yang lain saling
tumpang tindih. Apalagi bila para penegak hukumnya saling mempermainkan
hukum. Kasus konflik cicak dan buaya yang akhir-akhir ini memanas adalah bukti
bahwa negara hukum yang ada ini semu sekali.
Kedaulatan pada hakikatnya adalah wewenang
untuk mengendalikan aspirasi, atau sederhananya wewenang untuk menentukan mana
yang sebaiknya dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan. Dalam pandangan Islam, manusia tidak
diberi wewenang bertindak. Manusia dibatasi wewenang tindakannya dengan
halal haram, artinya dia dipersilakan melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh
syara’ dan dilarang melakukan hal-hal yang diharamkan oleh syariat. Artinya,
aspirasi manusia dibatasi oleh hukum syariat Islam. [95]
Dalam praktek bermasyarakat dan bernegara, tindakan-tindakan manusia,
baik sebagai rakyat yang harus menjalankan aktivitas di bawah koridor hukum
maupun kepala negara (khalifah) sebagai pihak yang memberlakukan hukum,
semuanya harus mengacu kepada hukum syariat. Berarti khalifah dan
seluruh pejabat kehakiman tidak diperkenankan menyusun konstitusi,
undang-undang, dan peraturan-peraturan yang diimpor dari Barat atau mengarang
sendiri. Harus diambil dari nash syara’ atau hasil ijtihad seorang
ahli hukum Islam. Dan keterikatan kepada hukum syariat itu semua
dilakukan secara sukarela atas dasar keimanan kepada Allah swt. yang Maha
Bijaksana. Inilah kenapa umat Islam meyakini firman Allah swt. dalam QS.
Al-Nisa ayat 65 :
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.[96]
Penguasa dalam menjalankan pemerintahan,
senantiasa mengacu kepada ketaqwaan kepada Allah swt. Diriwayatkan bahwa
Khalifah Umar pernah mengatakan bahwa apabila ada keledai terantuk batu
di Irak, dia khawatir kalau Allah swt. nanti di hari kiamat akan menanyakan
kepadanya sebagai pemerintah kenapa tidak menyediakan jalan yang rata.
Juga ada riwayat bahwa istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan
kesaksiannya kepada para ulama sepeninggal beliau r.a., bahwa khalifah adalah
orang yang sangat takut kepada Allah. Suatu malam, ketika ditanya kenapa
beliau menangis. Beliau menjawab: “Sungguh engkau tahu bahwa aku telah
diserahi urusan umat ini..lalu aku ingat urusan orang-orang yang terasing, yang
peminta-minta, yang tertawan..Aku tahu persis bahwa Allah akan menanyaiku dan
Muhammad saw. pasti akan membantahku bila aku mangkir. Sungguh dia adalah
seorang yang bila di puncak kenikmatan bersama istrinya, lalu ingat
sesuatu perintah Allah, maka dia akan bergetar badannya saking takutnya kepada
Allah swt..sungguh aku ingin antara dia dan kekuasaannya seperti timur dan
barat.
Itulah gambaran seorang penguasa yang
faham bahwa dia adalah hamba Allah swt. yang wajib menjalankan pemerintahan
dengan hukum-hukum Allah swt. Dia bukanlah penguasa yang arogan
yang bisa membuat hukum dan mengubahnya sewaktu-waktu sekehndak hatinya. Dan bukan pula orang yang memberikan ruang
aspirasi rakyat tanpa batas. Khalifah Abu Bakar As Shiddiq menolak
aspirasi orang-orang Arab yang minta untuk tidak lagi membayar zakat dan
memerangi mereka tatkala mereka membangkang dari kewajiban yang merupakan rukun
Islam itu. Beliau juga memerangi kaum murtaddin dan Nabi
Palsu yang tidak mau bertobat kembali ke pangkuan Islam. Beliau
mempertaruhkan kestabilan negara demi menegakkan kedaulatan hukum syariat Islam.
Makna kekuasaan di tangan umat
Islam mengajarkan bahwa seseorang bisa
menjadi khalifah, amirul mukminin, atau kepala negara umat Islam setelah
melaksanakan ijab qabul dalam aqad khilafah. Artinya, kalau umat atau
para wakilnya mengijabkan wewenang jabatan kekuasaan pemerintahan khilafah
kepada orang tersebut dan dia menerimanya (qabul) maka dia secara sah telah
menjadi seorang khalifah. Secara prinsip kekuasaan itu di tangan umat
lalu umat memilih salah seorang wakilnya sebagai khalifah untuk menjalankan
pemerintahan dengan hukum syariat sesuai prinsip kedaulatan di tangan
syariat.
Sebagai layaknya aqad nikah, aqad khilafah
ini juga diharapkan berlaku selama hidup. Artinya, umat tidak akan
mencabut kembali ijabnya setelah diqabul oleh khalifah. Kecuali jika
khalifah telah hilang syarat-syaratnya sebagai seorang khalifah, seperti gila
atau ditangkap musuh yang sulit diharapkan pembebasannya. Atau
khalifah melakukan kezaliman yang luar biasa yang sulit sekali diperbaiki atau
menukar hukum syariat dengan hukum lain dalam system pemerintahannya.
Atau dia telah melakukan tindakan kufur secara nyata. [97]
Namun dengan jabatan yang tanpa batas
waktu itu tidak berarti khalifah itu orang suci atau tidak berhak
dikoreksi. Tidak. Justru dalam system Islam tindakan mengoreksi
khalifah adalah hak sekaligus kewajiban rakyat, khususnya para ulama dan
aktivis parpol Islam, yang wajib melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Selesai pembaiatan Khalifah Abu Bakar r.a. menyampaikan pidato: “Jika aku
taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dukunglah aku. Namun jika aku
menyimpang dari jalan Allah, maka luruskanlah aku…”. Tatkala
Khalifah Umar melakukan hal yang sama, maka ada seorang badui yang mengatakan
bahwa dia akan mengorksi Umar dengan pedangnya. Maka Umar berkata: Alhamdulillah
masih ada hamba Allah yang akan mengoreksi Umar dengan pedangnya!”. Khalifah
Umar r.a. juga pernah dikoreksi oleh seorang wanita yang menilai
kebijakan khalifah yang memerintahkan para wanita mengembalikan mahar yang
mereka terima kepada suami mereka akibat dinilai kebanyakan. Khalifah
Umar mengatakan: “Umar salah, nenek-nenek itu betul”.
Etika hubungan rakyat dan penguasa
Hubungan antara penguasa dan rakyat dalam
interaksi social politik dapat dilihat dalam firman Allah swt. :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. AN Nisa 59).[98]
Rakyat
wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil amri yang memerintah
mereka. Namun ketaatan itu dengan basis kedaulatan di tangan hukum
syariat. Sehingga ketika terjadi perselisihan antara umat dan penguasa,
mereka semua diminta kembali Al Quran dan As Sunnah. Dalam hal ini secara
operasional dilaksanakan dengan merujuk seorang hakim khusus yang mencapai
derajat mujtahid dan independent, serta hanya takut kepada Allah swt.. Apapun
keputusan yang diberikan oleh hakim tersebut yang merupakan ikhbar
tentang hukum Allah swt. untuk masalah tersebut wajib dilaksanakan. Itulah
etika dasar dalam system politik pemerintahan Islam. Dan itulah yang
menghasilkan pemerintahan dan rakyat yang berkah (QS. Al A’raf 96).
BAB IV
ANALISIS
KEKUASAAN DALAM POLITIK ISLAM
A. Konsep
Kekuasaan dalam Politik Islam
Kajian
teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan
politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana aktual yang tak berkesudahan.
Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan
keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik
belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak
kalangan umum yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan
harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan
kelicikan.
Sebagai
wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap
istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka
penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif Al-Qur’an.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً ﴿٥٨﴾ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً
Terjemahnya :
|
Kedua
ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang
menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab
terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt.[100].
Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah
SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-Qur’an, ini menandakan adanya
syumuliatul Islam.
Amanat
dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah
perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh
makhluk.[101]
Kalau
diteliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam QS. Al-Nisa 58-59, dalam
latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun
Nuzulnya.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu
Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan
mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah.
Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah
Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku
untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan).
Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci
itu kepadaku wahai Utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”.
Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di
baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali
kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut
di atas Qs An-Nisa :58.[102]
Diriwayatkan
oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas.
Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena
cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah
marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan
pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir
menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa
Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah
saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka
berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di
dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia
tidak taat.[103]
Dari
kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki
adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang
difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18 :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ
يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Terjemahnya :
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu
karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang
yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali
(segala sesuatu)”.[104]
Adapun
di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk,
Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw.
Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut QS. Ali Imran ayat 26 :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ
تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن
تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Terjemahnya :
“Katakanlah:
“Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[105]
Seperti
tersurat di dalam ayat di atas, Allah swt menganugerahkan kepada manusia
sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksanakan
tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada
pula yang gagal, karena pengaruh-pengaruh keduniaan sehingga tidak mampu
menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam
konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah).
Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah
dinyatakan manusia di hadapan Allah swt. dan sekaligus menjadi tantangan
terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya
di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu. Hal ini dapat dipahami
bahwa amanah yang diberikan kepada manusia harus dipertanggungjawabkan bukan
saja kepada manusia tetapi juga di hadapan Allah swt.
Amanah
risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh.
Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi,
menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas
merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh
sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa
manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya
keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya,
sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan
sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia
dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal,
kehidupan akherat.[106]
Kekuasaan
yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme
politik tertuang di dalam Al-Qur’an (Shaad:26) :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا
نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Terjemahnya
:
”Hai
Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.[107]
Kekuasaan
politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam QS. Al-Baqarah ayat 247 :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ
إِنَّ اللّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكاً قَالُوَاْ أَنَّى يَكُونُ لَهُ
الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً
مِّنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي
الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Terjemahnya
:
”
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam
peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud)
pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya
apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian
umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah
mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”[108]
Islam
adalah agama syumul (mengatur segala aspek), lengkap dengan petunjuk
untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan
tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah swt., manusia hanya sebagai
pelaksana kedaulatan itu. Olehnya itu manusia disebut khalifah yang berarti
wakil atau perwakilan Allah swt di bumi ini. Sebagai makhluk yang diberi tugas
untuk memakmurkan dan mengatur bumi ini, tentu saja hal-hal yang dilakukan oleh
manusia harus senantiasa sesuai dengan kehendak Allah swt. sebagai pemberi amanah
tersebut.
Islam
memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam
pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia
tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah
perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
B. Hubungan
Kekuasaan dengan Politik dalam Islam
Dalam
menjalankan roda pemerintahan, nampaknya nabi Muhammad saw. memisahkan antara
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dibawah naungan wahyu Al-Qur’an
dan nabi Muhammad saw. menjalankan kekuasaan legislatif.
Pada
masa nabi Muhammad saw. sudah ada negara dan pemerintahan dalam Islam. maka
dengan demikian tertuju pada masa beliau sejak menetap di kota Yastrib. Kota
ini berganti nama menjadi Madinah al-Nasi, dan popular disebut dengan nama
Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam.
Perubahan
besar yang dialami oleh nabi dan pengikutnya dari kelompok tanap kekuasaan
menjadi komunitas yang memiliki kekuatan social politik yang ditandai dengan
beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621-622 M berturut-turut memperoleh
dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang Arab di kota Yastrib
yang menyatakan masuk Islam.[109]
Praktek
pemerintahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara lainnya
tampak pula pada kesepakatan. Tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau.
Dalam piagam Madinah diakui sebagai pimpin tertinggi, berarti pemegang
kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam prakteknya beliau
mendelegasikan tugas-tugas ini kepada para sahabatnya yang dianggap mampu.
Dari
sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif,
Eksekutif, dan yudikatif, yang akan di bahas secara rinci.[110]
1.
Legislatif.
Lembaga
legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki
kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminologi
fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Istilah lembaga legislatif dalam Islam lebih popular dengan sebutan Ahl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang, lembaga ini di kenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.
Istilah lembaga legislatif dalam Islam lebih popular dengan sebutan Ahl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang, lembaga ini di kenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.
Para
ahli fiqh Siyasah dalam menamai istilah Ahl-al-Halli wa al-‘Aqd
berbeda-beda. Al-Mawardi misalnya ia memyembunyikan lembaga ini ini dengan
ahl-Ikhtiyar karena mereka dianggap kualifikasi tertentu dan mewakili aspirasi
umat untuk memiliki khalifah yang hanya sampai pada garis terpilihnya calon
iman.
Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.
Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.
Para
ahli fiqh Siyasah memberikan beberapa alasan dalam pelembagaan ini, adalah :[111]
a.
Musyawarah hanya bisa dilakukan
dengan jumlah peserta terbatas.
b.
Kewajiban taat kepada Ulil Amri
baru mengikat apabila pemimpin itu di pilih
c.
Ajaran Islam sendiri
menerangkan seperlunya pembentukan masyarakat.
d.
Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar hanya bisa dilakukan apabila lembaga yang berperan untuk menjaga
kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
e.
Rakyat secara individu tidaklah
bisa dikumpulkan untuk melakukan masyarakat dalam satu tempat, mereka tertentu
tidak mampu mengemukakan pendapat dalam masyarakat akibatnya akan mengganggu
aktivitas kehidupan bermasyarkat.
Dalam
sistem pemerintahan Islam, khalifah adalah pemegang kendali pemimpin umat
segala jenis kekuasaan berpuncak padanya dan segala garis politik agama dan
dunia bercabang dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepada
pemerintahannya yang bertugas menyelenggarakan undang-undang untuk menegakkan
Islam dan mengurus Negara dalam bingkai Islam.
Kewenangan
khalifah sebagai kepala eksekutif, adalah:
a.
Mengangkat dan memecat para
pejabat tinggi
b.
Membimbing dan mengawasi
pekerjaan mereka
c.
Memimpin angkatan perang.
d.
Mengumumkan perang.
e.
Mendatangani perjanjian damai.
Kekuasaan
legislatif dalam Islam merupakan kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam
untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat
berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah swt. Dengan demikian
unsur legislatif dalam Islam, adalah:[112]
a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk
menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam.
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
c. Isi peraturan atau hukum ini sendiri harus
sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.
Kekuasaan
legislatif dalam teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam negara.
Disamping diwajibkan memilih kepala negara, legislatif juga menempatkan
undang-undang dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif ini akan
dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh
lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.[113]
Dalam
Al-Qur’an dijelaskan bahwa jika Allah dan Rasulnya telah memberi peraturan di
dalam suatu masalah. Tidak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai
pendapatnya sendiri, karena menetapkan syari’at hanyalah wewenang Allah
sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 38, yang berbunyi:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ
يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي
يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى
إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِين
Terjemahannya
:
Dan
berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang
pendusta".[114]
Dari
perintah di atas timbul prinsip bahwa lembaga legislatif dalam negara Islam
sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan
tuntutan Allah dan rasulnya dalam semua cabang legislatif. Meskipun disahkan
oleh lembaga legislatif harus secara facto dianggap ultravires dari
undang-undang dasar.
Jadi
tugas dan wewenang lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami
sumber syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menjelaskan hukum yang
berkembang di dalamnya.
Al-Maududi
secara umum berpandangan bahwa fungsi legislatif adalah:
a.
Menetapkan peraturan yang
ditentukan secara tegas dalam syariat menjadi undang-undang.
b.
Memutuskan salah satu
penafsiran dari pedoman-pedoman syariat yang punya kemungkinan penafsiran lebih
dari satu.
c.
Menegakkan hukum yang di
syariatkan dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam.
d.
Merumuskan hukum suatu masalah
yang berpedoman dan sifat dasarnya tidak diatur dalam syariat sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan semangat syariat.
2.
Eksekutif
Eksekutif
yaitu suatu badan pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk
menyeleggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam system kabinet
presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi
sebagai kepala eksekutif.
Dalam
pandang Abdul Kadir Audah berpendapat bahwa kekuasaan pembuat undang-undang
dipegang oleh ulil Amri dan Ahlu Ra’yi. Ulil amri disini adalah kumpulan dari
umara dan ulama.
Dalam
suatu negara dalam Islam, lembaga eksekutif memiliki tujuan yaitu untuk
menegakkan pedoman-pedoman Allah yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan
Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman
ini untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari karakteristik lembaga
eksekutif inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif non muslim.
Dalam
teori kedaulatan hukum, demokrasi, trias politika, bahkan teori kekusaan eksekutif
karena itu apabila kita menurut teori ini dan praktek negara Islam pertama ada
kemiripan dan perbedaan. Dalam membahas masalah kekuasaan eksekutif menurut
sistem negara Islam adalah istilah khilafah. Menurut Al-Qur’an istilah khilafah
termuat dalam surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
Terjemahannya
:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".[115]
Jadi
istilah khalifah identik dengan istilah presiden dalam negara sekuler walaupun
dalam kriteria calon seorang presiden dan sistem pertanggung jawaban dalam
negara sekuler berbeda dengan pandangan Islam akan tetapi dalam pelaksanaan
fungsi eksekutif atau khalifa sama-sama mengutamakan kepentingan warga negara atau
umat dalam Islam.
3. Yudikatif.
Dalam
kamus umum ilmu politik, Yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan
dengan tugas dan wewenang peradilan.
Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan
perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil
hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta
wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan dipengadilan. Sedangkan
tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya
keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala
Negara
Ruang
lingkup lembaga Yudikatif (dalam terminology hukum Islam dikenal dengan
Qhadhi), juga di isyaratkan maknanya oleh pengakuan asas kedaulatan de jure oleh
Allah swt. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip
abdinya, Rasulullah saw. berdiri yang menjadi hakim pertama negara tersebut dan
beliau melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum Allah: orang-orang
melanjutkan tidak memiliki aternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka
pada hukum allah sebagaimana yang telah sampaikan kepada mereka oleh Rasulullah
saw.[116]
Dalam
Al-Qur’an membahas masalah ini yang mana uraian ini dimulai dengan sejarah
Israil, beranjak kesejarah orang-orang Kristen dan akhirnya kepada orang-orang
Islam. dinyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan kepada Musa as dan sesudah itu
kepada rasul orang Israil dan Robi Yahudi menurutnya sebagai hukum dalam semua
sektor kehidupan untuk memutuskan perselisihan yang terjadi dikalangan rakyat
sejalan dengannya. Sesudah itu turunlah Isa as dengan wahyu baru dan Al-Qur’an
memberitahu kita bahwa para penganutnya tidak juga diwajibkan untuk memutuskan
urusan-urusan mereka sejalan dengan wahyu tersebut. Kemudian diceritakan oleh Rasulullah
dan Allah berfirman kepada beliau, dalam surat al-Hadid ayat 25 berbunyi:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ
الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ
يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Terjemahannya
:
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)
Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa.[117]
Sepanjang
penjelasan ini, dinyatakan dengan penuh tekanan bahwa orang-orang yang tidak
memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah adalah orang-orang kafir, dzhalim,
dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan bahwa peradilan-peradilan hukum dalam
suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Allah swt. dan bukan untuk
melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara
muslim.
C.
Analisis Hubungan Kekuasaan legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam
pemerintahan Islam
Dalam
hal ini, tidak terdapat perintah-perintah yang jelas. Tetapi konvensi-konvensi
di masa Rasulullah saw dan empat khalifah memberi kita cukup pedoman. Dan dari
pedoman-pedoman ini kita dapat menggali kesimpulan bahwa kepala negara Islam
merupakan pimpinan tertinggi dari semua lembaga yang berbeda ini. Rasulullah
saw menikmati kedudukan yang sama dan posisi ini di pertahankan oleh empat
khalifah yang lurus .
Tetapi
di bawah kepala negara, ketiga lembaga tinggi negara berfungsi secara terpisah
serta mandiri satu sama lainnya. Lembaga yang disebut ahl-al’aqd wa al aqd
yang bertugas memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah
hukum, pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah.
Kemudian ada pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah yudisial
yang harus diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim.
Dalam
semua masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian
peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum khalifah mau
tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl-al’aqd wa al aqd dan segera
setelah itu tercapai kesepakatan yang di isyaratkan. Maka lembaga itu bubar,
hadir dan melakukan pembelaan dihadapan qadi sebagaimana orang kebanyakan.[118]
Hubungan
penegakan hukum dalam konvensi yang ditegakkan lembaga yudikatif di zaman
khalifah tidak membatasi kekuasaan legislatif atau paling tidak tak seorang pun
qadhi melakukan itu karena alasannya anggota legislatif pada zamannya memiliki
wawasan yang berbobot dan didasari Al-Qur’an, hadist dan khalifah merupakan
orang-orang yang diandalkan.
Untuk
menjamin bahwa legislatif akan menegakkan hukum tentang tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadist maka lembaga legislatif membutuhkan otoritas untuk
membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadist. Sedangkan kedudukan yang benar dalam Islam untuk lembaga
legislatif bukan hanya merupakan lembaga penasihat kepala negara, yang
nasehatnya dapat di terima dan ditolak sesuai dengan kehendak kepala negara
yang bersangkutan akan tetapi juga untuk menegakkan hukum yang sesuai dengan
Al-Qur’an.[119]
Dalam
menjalankan roda pemerintahan negara Madinah, nampaknya nabi Muhammad tidak
memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dibawah
naungan Al-Qur’an, nabi Muhammad saw menjalankan kekuasaan legislatif, beliau
menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah swt tersebut kepada masyarakat Madinah.
Untuk permasalahannya yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an, nabi
Muhammad yang mengaturnya. Rasulullah yang menentukan sendiri hukum terhadap
permasalahan yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an .
Untuk
mengadili pelanggaran-pelanggaran ketertiban umum, Nabi Muhammad saw. membentuk
lembaga hisbah. Lembaga bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan
agar tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pedagang pasar dan bahkan
tidak jarang nabi melakukan inspeksi langsung ke tempat-tempat strategis.
Islam
telah mengkonsepkan bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu.
Satu masalah pokok yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang
kebebasan lembaga peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan eksekutif,
bentuk penegasannya tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur kedudukan
pengadilan dan cara mengangkat para hakim. Hakim dapat di angkat oleh kekuasaan
eksekutif atau oleh kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung dipilih
rakyat. Menurut cara yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu dilakukan oleh
kekuasaan eksekutif .
Para
khalifah adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah
ia di angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan
harus memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka
apabila ada gugatan. Indahnya gambaran hubungan antara hakim dan khalifah itu
dapat di angkat dari satu kisah sebagai berikut :
Demikian
pula Ali r.a pernah terlibat dalam suatu perkara dengan seorang non muslim yang
dilihatnya menjual baju besi milik Ali di pasar Kuffah, ia tidak merampasnya
dari tangannya, dalam kedudukannya sebagai Amirul Mu’minin dan kepala negara
pada waktu itu, tapi ia mengadu halnya kepada hakim. Dan ketika itu ia tidak
berhasil mengajukan suatu bukti atau saksi-saksi atas tuduhannya itu, sang
hakim menjatuhkan putusan yang merugikannya
Dari
beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Lembaga Legislatif adalah lembaga yang memberikan sumbangan terhadap
rakyat yang melalui dengan aspirasinya, serta pemberi dan memutuskan suatu
fatwa. Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang mempunyai penyelenggaraan dalam
suatu undang-undang dalam pemerintahannya. Sedangkan Yudikatif adalah lembaga
yang mempunyai dengan pengadilan terhadap masyarakat.
Ketika
lembaga tersebut mempunyai pembagian masing-masing sera mempunyai fungsi dalam
pemerintahan Islam. lembaga legislatif berfungsi sebagai pemegang pemerintahan
yang dilandaskan dengan syariat Islam yang bersumber dengan Al-Qur’an dan
Hadits. Ekseekutif berfungsi sebagai menegakkan hukum Islam yang berpegang
dengan Allah yang menyampaikan melalui dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedangkan Yudikatif berfungsi sebagai menyelesaikan suatu urusan perkara dalam
hukum pidana dalam suatu masyarakat.
Dari
fungsi masing-masing dari lembaga tersebut yang mempunyai hubungan satu sama
lain yang secara harmonis dan tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan Islam.
dalam pemerintah Islam lembaga tersebut mempunyai dasar-dasar dalam Al-Qur’an.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
beberapa uraian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal :Istilah
kekuasaan terbentuk dari kata kuasa dengan imbuhan awalan ke dan
akhiran an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kekuasaan diberi
arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya);
kemampuan; kesanggupan; kekuatan.
Kekuasaan selain merujuk kepada makna benda (kemampuan, kesanggupan, dan
kekuatan), juga merujuk kepada makna sifat. Dan dapat pula bermakna benda,
yakni orang yang di beri kewenangan. Kekuasaan dapat disimpulkan dalam tiga
arti, yaitu kemampuan, kewenangan, dan pengaruh. Ketiga makna ini terlihat
dalam defenisi kekuasaan yang diberikan para ilmuwan politik.
Politik
dalam bahasa Arab berarti siyasah (berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة yang
berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga berarti
pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan. Siyasah menurut
bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah,
memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik. Artinya, mengatur,
mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk
mencapai suatu tujuan.
|
Politik
atau siyasah dalam pandangan Islam tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan
dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada
kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga.
Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk
mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat
luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun
publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam
perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah
politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri
atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan
masa depan yang masih panjang.
Bertolak
dari pengertian di atas, politik mengandung dua makna, yaitu politik dalam arti
luas –sebagaimana dikemukakan di atas-, dan politik dalam arti sempit, yaitu
politik yang merupakan tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat
dan masyarakat secara keseluruhan. Politik praktis yang sejalan dengan syariat
Islam adalah politik yang tidak terlihat didalamnya perebutan kekuasaan,
kekejaman, ketidakadilan, dan lain-lain, karena Islam meletakkan dasar
pengaturan dan pemeliharaan urusan umat di atas landasan hukum-hukum Allah,
bukan pada kediktatoran penguasa atau keinginan sekelompok orang. Penguasa
hanyalah pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah swt.,
sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik
agar senantiasa berada dalam rel hukum syara.
Praktek
pemerintahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara lainnya
tampak pula pada kesepakatan. Tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau.
Dalam piagam Madinah diakui sebagai pimpin tertinggi, berarti pemegang
kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam prakteknya beliau
mendelegasikan tugas-tugas ini kepada para sahabatnya yang dianggap mampu.
Dari sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif
Dari sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif
Islam telah mengkonsepkan
bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu. Satu masalah pokok
yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang kebebasan lembaga
peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, bentuk penegasannya
tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur kedudukan pengadilan dan cara
mengangkat para hakim. Hakim dapat diangkat oleh kekuasaan eksekutif atau oleh
kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung dipilih rakyat. Menurut cara
yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu dilakukan oleh kekuasaan eksekutif
.
Para
khalifah adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah
ia di angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan
harus memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka
apabila ada gugatan.
Kekuasaan Legislatif
adalah kekuasaan lembaga yang memberikan
sumbangan terhadap rakyat yang melalui dengan aspirasinya, serta pemberi dan
memutuskan suatu fatwa. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan lembaga yang
mempunyai penyelenggaraan dalam suatu undang-undang dalam pemerintahannya.
Sedangkan Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan lembaga yang mempunyai dengan
pengadilan terhadap masyarakat.
Ketika lembaga tersebut
mempunyai pembagian masing-masing sera mempunyai fungsi dalam pemerintahan
Islam. lembaga legislatif berfungsi sebagai pemegang pemerintahan yang
dilandaskan dengan syariat Islam yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Eksekutif berfungsi sebagai menegakkan hukum Islam yang berpegang dengan Allah
yang menyampaikan melalui dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan Yudikatif
berfungsi sebagai menyelesaikan suatu urusan perkara dalam hukum pidana dalam
suatu masyarakat.
Dari fungsi masing-masing
dari pemegang kekuasaan lembaga tersebut mempunyai hubungan satu sama lain yang
secara harmonis dan tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan Islam. dalam
pemerintah Islam lembaga tersebut mempunyai dasar-dasar dalam Al-Qur’an.
B. Implikasi
Dengan
pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang politik dan
kekuasaan menurut konsep Islam, sehingga dengan demikian umat Islam yang
bergelut dalam bidang politik hendaknya melakoni perpolitikan dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai islami dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengatur
tentang bagaimana berpolitik dan tentang bagaimana menempatkan kekuasaan
sebagai amanah dari Allah swt.
Akhirnya,
dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa mengharapkan saran dan masukan
yang berharga demi kesempurnaan penulisan pada masa-masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
--------------.
Political Theory of Islam : Inter-Collegiate Muslim Brotherhood, Lahore,
1939.
Abd.
al-Baqi, Muhammad Fu’ad. Mu’jam al-Mufahras li Alfad al-Qur’an. Beirut:
Dar al-Fikr, 1991.
Ahmad,
Zainal Abidin. Membangun Negara Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Iqra,
2001.
Al-Afghani,
Sa'id. Aisyah wa al-Siyasah, t. dt.
Al-Bahnasawi,Salim
Ali. Wawasan Sistem politik Islam, Terj. Mustolah Maufur. Cet 1;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
Al-Baqy, Muh. Fu’ad ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li Alfad Al-Qur’an. Beirut:
Dar al-Fikr, 1991.
Al-Ghazali,
Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1975.
Ali, A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di
Indonesia. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Al-Maududi,
A’la, Abul, Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, Tetj. Drs. Asep
Hikmat, Bandung: Mizan, 1990.
Al-Raziq,
Ali , al-Islam wa Ushul al-Hukmi, Beirut : Maktabah al-hayah : 1966.
Al-Syuwarabi, Abdul Hamid. al-Huqq al-Siyasiyyah li
al-Mar’ah f³ al-Islam. Iskandariah: Dar Mansya’ah al-Ma’arif, t.th.
Andi
Rasdiyanah. Konsep Etika Politik dalam Persepsi Budaya Bugis Makassar, “Makalah”,
disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-33 IAIN
Alauddin Makassar, November 1998.
Arkoun,
Mohemmed, Rethinking : Common Questions, Uncommon Answers, Yudian W.
Asmin (Penterjemah), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Bahri, Fadli. al-Akhkam,
al-Sulthonia Al-Mawardi, Terj., Jakarta: Darul Falah. Cet I, 2000.
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
Athibi,
Ukasyah Abdulmannan. Ta«hur Akhlaq al-Nisa, terj. Chairul Halim dengan
Judul Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1998.
Azhar,
Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, PT Raja
Grafindo, Jakarta, 1996.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia, 1982.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera, 1989.
Ditjen Bagais. Jejak-Jejak Islam Politik: Sinopsis Sejumlah Studi Islam Indonesia. Jakarta:
Ditpertais, 2004.
el-Na,
Muhammad, Sistem Politik Dalam Pemerintahan Islam, Terj Anshori Tadjib,
Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Hamid,
Tijani Abdul Qadir. Pemikiran Politik Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Ibn
Khaldun, As-Siyasah asy-Syari‘ah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, Dar
al-Kutub al-„Arabiyat, Bairut, 1966.
Iqbal,
M., Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, Cet I, 2001.
Jaelani,
Abdul Kadir, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu Cet
I, 1995.
Lubis,
Todung Mulya. Pembangunan Politik,
Situasi Global, dan Hak Azasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia, 1994.
Ma’arif,
Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Cet. II; Jakarta: LP3ES,
1986.
Madjid,
Nurcholish, Agama dan Negara Dalam : Sebuah Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni,
Makalah Seri KKA Nomor 55/Tahun V/ 1991.
Marbun,
B.N, Kamus Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Poerwadarminta,
W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1983.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqhi
Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Ed.I. Cet. I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995.
Rahman, Fazlur, Islam
and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and
London : University of Chicago Press, 1982.
Rais,
Amin, Cakrawala Antara Cita-cita dan Fakta, Bandung, Mizan, 1899.
Salim,
Abd. Muin. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. V,
UI-Press, Jakarta, 1993.
Smith, Donald
Eugene, Religion and Political Development, Boston : Little, Brown and
Co., 1978.
Syalabi,
Ahmad, Prinsip-prinsip Pemerintahan Islam, terjemahan Salim Nabhan, Surabaya,
1983.
Taj, Abdur Rahman. al-Siyasat al-Syar’iyah wa al-Fiqh
al-Islamiy. Mishr: Dar al-Ta’lif, 1953.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cet. II; Jakarta; Balai Pustaka, 1989.
Zakariya,
Ahmad bin Faris bin. Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz I.Beirut: Dar al-Fikr,
1979.