Rabu, 27 Februari 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................    I
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...........................................................................................     ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................................................    iii
PENGESAHAN SKRIPSI...........................................................................................................    iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................................   v
DAFTAR ISI............................................................................................................................    ix
ABSTRAK...............................................................................................................................    x
BAB I     PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A.      Latar Belakang Masalah..................................................................................................              1
B.      Rumusan Masalah...........................................................................................................            6
C.      Pengertian Judul.............................................................................................................             6
D.      Tinjauan Pustaka.............................................................................................................            9
E.       Metode Penelitian..........................................................................................................             10
F.       Tujuan Dan Kegunaan Penelitian....................................................................................              12
G.     Garis-Garis Besar Isi Skripsi.............................................................................................              13
BAB II    KONSEP KEKUASAAN...............................................................................................      14
A.      Pengertian Kekuasaan....................................................................................................             14
B.      Sumber-Sumber Kekuasaan............................................................................................             16
C.      Bentuk-Bentuk Kekuasaan..............................................................................................             20
BAB III   POLITIK ISLAM.........................................................................................................     26
A.      Pengertian Politik Islam..................................................................................................              26
B.      Pemikiran Politik Islam....................................................................................................             41
C.      Etika Politik Islam............................................................................................................             58
BAB IV  ANALISIS KEKUASAAN DALAM POLIKTIK ISLAM........................................................      64
A.      Konsep Kekuasaan Dalam Politik Islam...........................................................................               64
B.      Hubungan Kekuasaan Dengan Politik Islam....................................................................                69
C.      Analisis Hubungan Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, Dan Yudikatif Dalam Pemerintahan Islam...............................................................................................................................            77
BAB V    PENUTUP.................................................................................................................     83
A.      Kesimpulan.....................................................................................................................            83
B.      Implikasi..........................................................................................................................            86
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................     87



ABSTRAK
Nama                  : Ahmad Ilyas Hidayat
Nim                     : 30100106008
Fak/Jur               : Ushuluddin dan Filsafat/Pemikiran Politik Islam
Judul                   : KEKUASAAN PERSPEKTIF POLITIK ISLAM
 

Skripsi ini membahas tentang pandangan Islam tentang kekuasaan. Pokok masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah bagaimana konsep kekuasaan secara umum, pandangan Islam terhadap politik, dan bagaimana keterkaitan atau hubungan  kekuasaan dengan politik dalam pandangan Islam.
Untuk memecahkan rumusan masalah tersebut, maka penulis menggunakan metode yakni pengumpulan data melalui riset kepustakaan metodologi ini menggunakan literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan serta menggunakan  teknik kutipan langsung dan tidak langsung, begitupula metode pengolahan dan analisa data yang bersifat kualitatif artinya dasar-dasar tersebut diambil dari Al-Qur’an dan hadits disertai dengan beberapa pendapat dari para ulama, terutama para Imam Mazhab.
Sebagai hasil dari penganalisaan tentang kekuasaan dalam politik Islam diketahui bahwa politik atau siyasah dalam pandangan Islam tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Ia muncul dalam dunia domestic maupun publik, kultural, maupun struktural, personal dan komunal. Meski dalam perkembangannya, politik memiliki penyempitan makna menjadi istilah politik praktis, politik structural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.
Kekuasaan yang sejalan dengan politik Islam adalah kekuasaan yang  yang seperti dicontohkan Rasulullah saw. dalam kepemimpinannya. Kekuasaan itu sendiri terbagi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Hal ini memberikan gambaran bahwa pemerintah atau pemimpin yang menjadi penguasa bukanlah penguasa tunggal. Tetapi, dibantu oleh beberapa ahli dalam bidangnya masing-masing, agar kekuasaan yang muncul kemudian bukanlah kekuasaan yang bersifat dictator dan sewenang-wenang.
Islam adalah agama rahmat, yang telah mengajarkan tata cara berpolitik yang islami, yaitu dengan tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Oleh karena itu, bagi pemimpin di belahan bumi manapun, Rasulullah saw. merupakan panutan dan teladan yang paling sempurna.



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Seiring dengan isu kebangkitan Islam (The Revival Of Islam), maka berbagai persoalan yang berhubungan dengan hakikat, karakteristik, serta ruang lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam, mendapat sorotan tajam. Namun kajian politik Islam lebih banyak berbicara tentang peristiwa-peristiwa politik mutakhir di dunia Islam kontemporer, tanpa ada upaya untuk mengkaji secara lebih mendalam aspek-aspek teori politik yang benar-benar memengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut.
Kegagalan literatur masa kini yang berkaitan dengan Islam dan ilmu politik, sebagian besar disebabkan oleh tidak memadainya disiplin itu sendiri. Ilmu politik modern telah didefinisikan sedemikian sempit sehingga kehilangan kaitannya dengan aspek-aspek lain dari upaya-upaya kolektif kehidupan manusia. Ilmu politik modern tidak memadai, sebab tidak memikirkan masalah-masalah etis yang fundamental.
Text Box: 1Kontribusi dan artikulasi para penulis tentang teori politik Islam juga sangat menyedihkan. Karena pada umumnya, karya tulis itu lebih banyak bercorak doktrin politik, bukannya teori politik atau pun filsafat politik. Dalam wacana (discourse) antara politik dan agama, para akademisi politik Islam lebih banyak mengurai teks-teks hukum klasik dan abad pertengahan atau menggambarkan struktur lembaga pemerintahan Islam awal yang dalam sejarah dipandang suci. Sebenarnya kecenderungan tersebut mengikhtisarkan dan memproduksi krisis dalam pemikiran politik Islam saat ini.[1]
Bukan bermaksud untuk mamaksakan suatu definisi yang tersisa kepundak umat manusia yang sudah sarat beban, sekaligus bermakna atau tidak bermakna sama sekali, tetapi kita ingin menandaskan bahwa apapun kita sebagai rumpun manusia perlu dimanifestasikan melalui pengalaman sosial dan budaya tentang kekuasaan. Kekuasaan bukanlah suatu wilayah melainkan salah satu bentuk dan kondisi  yang esensial dalam hubungan kemanusiaan. Di samping kenyataan bahwa kekuasaan intristik pada semua hubungan dimana terdapat asimetri, kita ingin ditetapkan bahwa wilayah kekuasaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi politik itu bersifat inklusif pada tingkat masyarakat besar.
Secara khusus masyarakat Indonesia, kekuasaan dalam hukum adat adalah mencerminkan pandangan hidup yang dianut. negara yang hidup dikalangan masyarakat Indonesia adalah hukum yang mencerminkan pandangan hidup secara utuh dan menyeluruh, khususnya dalam menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat.
Untuk lebih memahami dan mendalami hakekat “suatu persoalan pengetahuan” seyogyanya persoalan itu dikaji secara radikal dengan melakukan perenungan, pengujian serta pengajuan kritik dan penilaian secara teratur dan sistematis. Masalah kekuasaan merupakan salah satu persoalan dalam filsafat negara yang mementingkan suatu tinjauan.
Dengan memahami hakekat politik Islam dan kekuasaan secara mendasar, pada gilirannya perbuatan dan pelaksanaan politik Islam di suatu pihak dan perolahan serta penggunaan kekuasaan dilain pihak akan senantiasa lebih arif dan bijaksana. Namun para teoritis politik menarik perhatian pada sifat tatanan politik yang baik hendak ditujukan, karena kekuasaan adalah salah satu cara dalam berusaha mencapai tujuan-tujuan politik. Maka pertanyaan mengenai tujuan-tujuan tatanan politik tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan mengenai tujuan-tujuan itu sendiri.
Didalam kaedah negara di tetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban anggota masyarakat di dalam pergaulan hidupnya yaitu menetapkan  cara bertingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat serta keharusan  untuk menaatinya. Jika ketaatan pada negara ini hanya diserahkan kepada kemauan bebas manusia sepenuhnya, maka tujuan negara itu akan sulit dicapai. Karena aksi untuk memengaruhi kemauan bebas itu berarti memaksa anggota masyarakat untuk taat kepada negara. Pemaksaan ketaatan akan negara ini membawa kita kepada masalah kekuasaan, dalam arti kemampuan untuk menegakkan daya paksaannya.
Kekuasaan (power) itu merupakan suatu wewenang untuk memberikan kekuasaan kepada seseorang atau lembaga tertentu. Ini berarti kekuasaan tersebut bersumber pada negara, yaitu ketentuan-ketentuan negara untuk mengatur wewenang tersebut. Bahwa kekuasaan itu perlu diselenggarakan oleh manusia tanpa kecuali, dan sudah barang tentu sebagai manusia ia memiliki banyak kelemahan dalam memegang kekuasaan.
Untuk melaksanakan kehendak atau kekuasaan terhadap individu, kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan lain yang ditetapkan di dalamnya, maka paling jelas diungkapkan dalam hukumnya. Ini merupakan hukum yang diakui, diungkapkan dan dipaksakan oleh negara. Memang hukum itu diperhatikan, dihargai, dihormati oleh banyak filsuf politik. Kendatipun kita berbicara dalam berbagai cabang politik Islam sekalipun, konsep kekuasaan tetap mempunyai konotasi dengan kepentingan. Untuk itu pengupasan sudah barang tentu didekatkan pada hukum dan politik dengan pengungkapan yang memungkinkan pemahaman yang lebih baik terhadap soal kekuasaan sehingga peraturan-peraturan, prinsip-prinsip dan norma-norma senantiasa mengatur hubungan-hubungan yang dapat menyelesaikan kepentingan bersama.
Dalam hal ini, pentingnya kajian pemikiran politik Islam. Nurcholis Madjid menyatakan:
“Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan banyak agama yang lain. Pernyataan yang sering muncul secara steorotipikal itu memang mengandung hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan negara yang sedang berlangsung selama lebih dari empat abad dan yang masih akan berlangsung entah berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga itu akan berarti sama dengan mengingkari sebagian dari esensi agama Islam.”[2]
Dari uraian diatas dapat disimak bahwa persoalan persepsi kaum muslimin terhadap politik Islam dari satu sisi baik, tapi ketika masuk pada wilayah kenegaraan yang didalamnya berbagai agama maka Islam bukan menjadi hal yang pokok untuk dijadikan sebagai tujuan dalam mengatur hidup. Karena ketika kita mengabaikan agama lain, hal yang naif adalah kita menafikkan negara yang menggunakan sistem demokrasi.
Berkaitan dengan hal di atas, Marshall G.S. Hodgson, sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid juga menyatakan:
“Melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai venture atau usaha tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan, dan venture itu melibatkan orang-orang muslim dalam praktek semua bidang kegiatan hidup, dengan sendirinya termasuk politik.”[3]

Senada dengan itu, Huston Smith juga mengatakan bahwa kekuasaan yang diperoleh oleh orang-orang Arab dengan sikap pasrah pada kekuatan transedental itu sedemikian dahsyatnya sehingga antara lain menghasilkan ledakan politik yang paling spektakuler dalam sejarah umat manusia. Kata Smith:
Submission (in Arabic, Islam) was the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet its entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known.[4]
Berdasarkan realitas di atas, terasa sekali betapa pentingnya pengkajian politik Islam (fiqh siyasah) di berbagai lembaga pendidikan Islam terutama di dunia Islam. Walaupun aspek kajian ini akan mengundang  beberapa kontroversi lebih-lebih di negara yang bukan Islam. Apa lagi, perkembangan modernitas yang begitu dahsyat perlu diimbangi dengan saratnya dimensi etika yang Islami, sudah tentu membutuhkan para pakar Islam yang mampu mengalokasikan nilai-nilai keIslaman tersebut. Dengan eksisnya lembaga pendidikan atau penelitian dibidang politik Islam akan dapat melahirkan pendekatan baru yang tidak sekedar legal-formal seperti fiqh an sich.
B.     Rumusan Masalah
Sejalan dengan  latar belakang di atas,  permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pandangan politik Islam tentang peranan  kekuasaan. Lebih lanjut, rumusan masalah ini dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep kekuasaan secara umum?
2.      Bagaimana pandangan Islam terhadap politik?
3.      Bagaimana keterkaitan atau hubungan kekuasaan dengan politik dalam pandangan Islam?
Beberapa sub masalahnya dari rumusan masalah yang dijelaskan.
C.    Pengertian Judul dan Batasan operasional
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan interprestasi di kalangan pembaca terhadap judul skripsi ini, maka penulis perlu mengemukakan pengertian judul dan batasan operasionalnya sebagai berikut:
“Kekuasaan” berasal dari kata “kuasa” artinya, kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu dengan kekuatan,[5] kedudukan atau jabatan tertinggi dalam sebuah lembaga atau negara yang sementara diduduki oleh seorang kepala negara yang dipilih secara demokratis maupun secara turunan atau aklamasi.
Politik berasal dari kata politis (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politis berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[6] Politik dalam bahasa Arab berarti siyasah (berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة) yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.[7] Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[8]
Berdasarkan pendekatan itu pula dapat dirangkum unsur-unsur politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. Muin Salim sebagai berikut :
1.         Nilai-nilai (ajaran-ajaran agama atau ajaran filsafat dan pemikiran manusia, secara sendiri-sendiri atau bersama, yang ditransformasikan menjadi ideologi politik).
2.         Ideologi politik yang pada satu sisi merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan politik dan penilaian terhadap aktifitas politik. Pada sisi lain mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai.
3.         Konstitusi yang berfungsi sebagai hukum dasar dan dasar keberadaan (struktural dan fungsional) sistem politik dan negara bersangkutan.
4.         Aktivitas politik yang dapat disimpulkan dalam berbagai fungsi-fungsi politik.
5.         Subjek politik sebagai penyelenggara aktifitas politik dan yang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
6.         Tujuan-tujuan politik baik yang merupakan tujuan antara ataupun tujuan akhir.
7.         Kekuasaan politik atau kewenangan untuk menyelenggarakan aktifitas-aktifitas politik.[9]
Dari definisi politik yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa politik adalah kebijakan-kebijakan yang diambil dalam menangani urusan tertentu, baik kebijakan dalam menangani urusan negara, urusan masyarakat, atau kebijakan dalam urusan rumah tangga. Politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah politik dalam makna luas, yaitu dari urusan rumah tangga sampai urusan negara, atau dalam istilah lain dari institusi keluarga hingga institusi formal tertinggi, yaitu negara. Jadi, Kekuasaan perspektif Politik Islam adalah upaya mengkaji konsep-konsep kekuasaan yang sejalan dengan politik Islam.
D.    Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, diterjemahkan beberapa karya yang berkaitan dengan beberapa tema.
1.      Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim dalam bukunya Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an mengemukakan beberapa unsur politik, yaitu : Nilai-nilai, Ideologi politik, konstitusi, aktifitas politik, subjek politik, tujuan-tujuan politik, dan kekuasaan politik.
2.        Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah menggunakan pengertian politik dengan pendekatan holistik. Hasilnya ditemukan secara parsial dan implisit 3 unsur pokok, yaitu : a. Lembaga yang menjalankan aktifitas pemerintahan, b. Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, dan c. Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengetahuan dan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai. [10]
3.      Nanang Tahqiq dalam bukunya Politik Islam mengemukakan pendapat Al-Farabi, di antaranya : Al-Farabi berpandangan bahwa masyarakat muncul dari keberadaan persatuan di antara individu-individu saling membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi ataupun memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder.[11]
4.      Dr. Fatmawati, M. Ag. dalam Disertasinya berjudul Implementasi Hak Politik Perempuan dalam Masyarakat islam di Sulawesi Selatan mengemukakan  makna politik dalam arti yang luas. Politik tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tetapi, dalam perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.[12]
E.     Metode Penelitian
Dalam upaya memudahkan penulis membahas skripsi, maka diperlukan metode yang sesuai dengan pembahasan yang dimaksud. Hal ini akan membantu setiap pembahasan  sehingga dengan mudah dapat  sesuai dengan pembahasan. Berikut ini metode-metode yang penulis gunakan antara lain:

1.      Metode pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis (kesejarahan) yang dimaksudkan untuk melihat konsep-konsep kekuasaan dan politik Islam di masa lampau dan Pendekatan syar’iy (hukum Islam) yang dimaksudkan untuk melihat sejauh mana konsep Islam dalam hal kekuasaan politik.
2.      Metode pengumpulan data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan jalan membaca buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Data-data pustaka yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisa, selanjutnya mengambil  kesimpulan secara sistematis.
3.         Pengolahan  data
a.         Metode induktif, yaitu suatu metode penelitian dengan jalan mengumpulkan data-data yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
b.        Metode deduktif, yaitu suatu tekhnik pengolahan data dengan jalan mengumpulkan data-data yang bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.
c.         Metode komparatif, yaitu suatu metode penelitian dengan jalan mem-bandingkan beberapa data untuk menemukan kekurangan dan kelebihan suatu data, kemudian menarik suatu kesimpulan.

F.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari rumusan masalah yang dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui pandangan Islam tentang kekuasaan.
2.      Mengetahui pandangan Islam terhadap politik.
3.      Mengetahui bentuk kekuasaan dalam Islam.
Kegunaan penelitian ini adalah memiliki pengetahuan yang mapan terhadap peran penguasa dalam mewujudkan keadilan yang sejati di masyarakat diantaranya sebagai berikut:
-          Dapat melengkapi pengetahuan tentang dunia kiai yang sampai saat ini masih terus dalam perdebatan, terutama ketika mereka bersentuhan dengan politik.
-          Bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, kajian ini diharapkan dapat menyediakan perspektif komparatif tentang berbagai gejala pembusukan nation state di berbagai belahan dunia.
-          Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kajian ini diharapkan bisa memperkaya penggalian wacana tentang gejala kekuasaan modern yang sering kali mewarisi karakter spesifik negara absolute.
-          Secara praktis, penelitian ini diharapkan juga bisa berguna bagi para penentu kebijakan negara sebagai masukan yang berharga dan bersifat ilmiah dalam rangka mengambil keputusan yang tepat, khususnya yang berkaitan dengan interaksi agama dan negara dalam konteks recovery ekonomi dan menuntaskan konflik SARA yang masih berlangsung hingga sekarang.
G.    Garis Besar Isi
Adapun penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang garis besarnya sebagai berikut:
Bab satu, merupakan bab pendahuluan yang memuat Latar belakang, rumusan masalah, Pengertian judul dan defenisi opersional, tinjauan pustaka, metode penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian serta garis besar isi.
            Bab dua, penulis menguraikan tentang tinjauan teoritis tentang kekuasaan, pengertian kekuasaan, sumber-sumber kekuasaan, dan bentuk-bentuk kekuasaan. Bab tiga, penulis menguraikan tentang Politik Islam, pengertian politik Islam, pemikiran politik Islam, dan Etika Politik Islam. Bab empat menguraikan tentang Analisis kekuasaan dalam Politik Islam, Konsep Kekuasaan Dalam Politik Islam, Hubungan Kekuasaan Dengan Politik Islam, dan Analisis Hubungan Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif Dalam Pemerintahan Islam. Bab lima, sebagai bab penutup, memuat kesimpulan dan implikasi.



BAB II
KONSEP KEKUASAAN
A.     Pengertian Kekuasaan
Istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa  dengan imbuhan awalan ke dan akhiran an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kekuasaan diberi arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya); kemampuan; kesanggupan; kekuatan.[13] Sedang kata kuasa sendiri diberi arti :
1.      Kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan (selain badan atau benda)
2.      Kewenangan atas sesuatu  atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) sesuatu
3.      Orang yang diberi kewenangan untuk mengurus (mewakili dan sebagainya)
4.      Mampu, sanggup, kuat
5.      Pengaruh (gengsi, kesaktian dan sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatannya (martabatnya).[14]
14
 
Pengertian leksikal di atas menunjukkan bahwa kata kekuasaan selain merujuk kepada makna benda (kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan), juga merujuk kepada makna sifat. Dan dapat pula bermakna benda, yakni orang yang di beri kewenangan. Dari sini kemudian, tampak bahwa untuk kata bersangkutan perubahan morfologis kurang membawa pengaruh semantik. Meskipun begitu, dari analisis ini terlihat bahwa makna yang mendasar dari kekuasaan dapat disimpulkan dalam tiga arti, yaitu kemampuan, kewenangan, dan pengaruh. Ketiga makna ini terlihat dalam defenisi kekuasaan yang diberikan para ilmuwan politik.
Robert A. Dahl mengemukakan bahwa istilah kekuasaan mencakup kategori hubumgan kemanusiaan yang luas, misalnya, hubungan yang berisi pengaruh, otoritas, persuasi, dorongan, kekerasan, tekanan, dan kekuatan fisik.[15] Tetapi dalam karyanya yang berjudul Modenr Political Analisis, ia mengemukakan bahwa kekuasaan adalah sejenis pengaruh yang disertai dorongan berupa sanksi bagi yang melanggar.[16] Kedua konsep pernyataan ini tidak konsisten, sebab dalam pernyataan pertama konsep kekuasaan bersifat umum mencakup segala jenis hubungan yang disertai pengaruh dan sanksi. Sifat inkonsistensi pendapat ini tidak dipersoalkan karena Dahl memang mengakui bahwa beberapa istilah politics, termasuk “control”,”power”,”authority” dan “influence” mempunyai arti yang sukar dipahami dan kompleks. Hal itu menyebabkan banyak ilmuwan menggunakannya tanpa memberi batasan hanya karena asumsi bahwa makna yang dimaksud telah dipahami pembacanya. Dahl sendiri menggunakan istilah-istilah tersebut dan saling mempertukarkan tempatnya apabila hal itu memungkinkan.[17]
Pandangan yang serupa dikemukakan Harold D. Lasswell dalam artikelnya “Psychology and Political Science in the U.S.A”. Dengan pendekatan psikologis, ia melihat kekuasaan sebagai hubungan kemanusiaan yang diharapkan terwujud, dan dalam kenyataannya, diberi sanksi berupa hukuman yang keras.[18]
Membahas masalah kekuasan nampaknya merupakan suatu hal yang sangat penting karena hakekat dari pada kepemimpinan adalah masalah pengaruh dan hakekat dari pengaruh adalah kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Joseph Reitz dan Linda N Jewell (1985), yang mengatakan “influence is the process by which managers affect other behavior”. “Power is the ability to exert influence”.
Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami situasi serta ketrampilan dalam menentukan macam kekuasaan yang tepat untuk merespon tuntutan situasi. Kekuasan seperti dikemukan oleh Gary A Yukl (1989) adalah potensi agen untuk memengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person), sementara David dan Newstroom (1989) membedakan kekuasaan dan kewenangan, kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain sedangkan wewenang merupakan pendelegasian dari manajemen yang lebih tinggi.
B.     Sumber-Sumber Kekuasaan
Ada pun sumber kekuasaan itu sendiri ada 3 macam,yaitu:[19]
1.      Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan
a.   Kekuasaan formal atau Legal (French & Raven 1959). Contohnya komandan tentara, kepala dinas, presiden atau perdana menteri. Kendali atas sumber dan ganjaran (French & Raven 1959). Contoh : Majikan yang menggaji  karyawannya, pemilik sawah yang mengupah buruhnya,  kepala suku atau kepala kantor yang dapat memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya.
b.   Kendali atas hukum (French & Raven 1959). Kepemimpinan yang didasarkan pada rasa takut. Contohnya preman-preman yang memunguti pajak dari pemilik toko. Para pemilik toko informal menuruti kehendak para preman itu karena takut mendapat perlakuan kasar. Demikian pula anak kelas satu SMP yang takut pada senior kelasnya yang galak dan suka memukul sehingga kehendak seniornya itu selalu dituruti.
c.   Kendali atas informasi (Pettigrew, 1972). Siapa yang menguasai informasi dapat menjadi pemimpin. Contohnya orang yang paling tahu jalan diantara serombongan pendaki gunung yang tersesat akan menjadi seorang pemimpin. Ulama akan menjadi pemimpin dalam agama. Ilmuan menjadi pemimpin dalam ilmu pengetahuan.
d.   Kendali ekologik (lingkungan). Sumber kekuasaan ini dinamakan juga perekayasaan situasi . Meliputi :
•   Kendali atas penempatan jabatan. Seorang atasan atau manager mempunyai kekuasaan atas bawahannya karena ia boleh menentukan posisi anggotanya.
•  Kendali atas tata lingkungan. Kepala dinas tata kota berhak memberi  izin bangunan. Orang-orang ini menjadi pemimpin karena kendalinya atas penataan lingkungan.
Kekuasaan Berdasarkan Kedudukan memiliki pengaruh potensial yang berasal dari kewenangan yang sah karena kedudukannya dalam organisasi terdiri dari: Kewenangan Formal dan Kekuasaan Pribadi.
Kewenangan Formal, yaitu kewenangan yang mengacu pada hak prerogatif, kewajiban dan tanggung jawab seseorang berkaitan dengan kedudukannya dalam organisasi atau sistem sosial.
Kontrol terhadap sumber daya dan imbalan, merupakan kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya dan imbalan terkait dengan kedudukan formal. Makin tinggi posisi seseorang dalam hirarki organisasi, makin banyak kontrol yang dimiliki orang tersebut terhadap sumber daya yang terbatas. Kontrol terhadap hukuman merupakan kapasitas untuk mencegah seseorang memperoleh imbalan.. Kontrol terhadap informasi menyangkut kontrol terhadap akses terhadap informasi penting maupun kontrol terhadap distribusinya kepada orang lain. Kontrol ekologis menyangkut kontrol terhadap lingkungan fisik, teknologi dan metode pengorganisasian pekerjaan
2.      Kekuasaan yang bersumber pada kepribadian
Berasal dari sifat-sifat pribadi.
a.   Keahlian atau keterampilan (French & Raven 1959). Contohnya pasien-pasien di rumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin karena dokterlah yang dianggap sebagai ahli untuk menyembuhkan penyakitnya.
b.   Persahabatan atau kesetiaan (French & Raven 1959). Sifat dapat bergaul, setia kawan atau setia kepada kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang dianggap sebagai pemimpin. Contohnya pemimpin yayasan panti asuhan dipilih karena memiliki sifat seperti Ibu Theresa.
c.   Kharisma (House,1977). Ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin juga merupakan salah satu sumber kekuasaan dalam proses kepemimpinan.
Kekuasaan pribadi menjelaskan bahwa kelompok sumber kekuasaan berdasarkan kedudukan akan berlimpah pada orang-orang yang secara hirarki mempunyai kedudukan dalam organisasi. Pengaruh potensial yang melekat pada keunggulan individu terdiri dari: Kekuasaan keahlian (expert power), Kekuasaan kesetiaan (referent power), dan Kekuasaan karisma.[20]
Kekuasaan keahlian (expert power) merupakan kekuasaan yang bersumber dari keahlian dalam memecahkan masalah tugas-tugas penting. Semakin tergantung pihak lain terhadap keahlian seseorang, semakin bertambah kekuasaan keahlian (expert power) orang tersebut. [21]
Kekuasaan kesetiaan (referene power) merupakan potensi seseorang yang menyebabkan orang lain mengagumi dan memenuhi permintaan orang tersebut. Referente power terkait dengan keterampilan interaksi antar pribadi, seperti pesona, kebijaksanaan, diplomasi dan empati.[22]
Maksud dari kekuasaan kesetiaan adalah sebuah potensi dimiliki oleh seseorang yang menjadikannya dikagumi sama orang lain, sehingga pengaruh darinya terhadap orang lain dengan bijaksana setiap orang yang dipengaruhinya akan melaksanakan dengan sendirinya.
Kekuasaan karisma merupakan sifat bawaan dari seseorang yang mencakup penampilan, karakter dan kepribadian yang mampu memengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu.[23]
3.      Kekuasaan yang bersumber pada politik
a.   Kendali atas proses pembuatan keputusan (Preffer  & Salanick, 1974). Ketua menentukan apakah suatu keputusan akan dibuat dan dilaksanakan atau tidak.
b.   Koalisi (stevenson, pearce & porter 1985). Ditentukan hak dan wewenang untuk membuat kerjasama dalam kelompok.
c.   Partisipasi (Preffer, 1981). Pemimpin yang mengatur pastisipasi dari masing-masing anggotanya.
d.   Institusionalisasi. Pemimpin agama menikahkan suami istri. Notaris atau hakim menetapkan berdirinya suatu perusahaan
C.     Bentuk-Bentuk Kekuasaan
Gagasan tradisional tentang kekuasaan difokuskan pada individu dan pelaksanaan kekuasaannya. Kekuasaan adalah sesuatu yang dipegang dan ditangani manusia, berdasarkan sumber-sumber kekuasaan tertentu. French dan Raven (1959)  menyatakan bahwa A dapat memiliki kekuasaan atas B berdasarkan pada lima jenis kekuasaan. Dasar-dasar kekuasaan ini dibedakan oleh arti tindakan A terhadap B dan hubungan yang mereka hasilkan:[24]
1.   Kekuasaan memberi  ganjaran (Reward Power) adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang dsb. Contoh: Apabila seorang pegawai dapat bekerja melebihi target, maka karyawan tersebut akan mendapat insentif berupa uang.
2.   Kekuasaan yang memaksa (Coercive Power) yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negative yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subjektif lainnya. Contoh: seorang pajurit datang terlambat saat bekerja, maka komandannya akan member hukuman.
3.   Kekuasaan yang sah (Legitimate Power) yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak  dan anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Contoh: seorang dosen akan mulai memberikan materi saat isi kelas diam dan tenang, apabila di dalam kelas masih gaduh maka dosen tidak mau mengajar.
4.   Kekuasaan referen (Referent Power) adalah kekuasaan yang timbul karena kharisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya. Contoh: dalam suatu partai politik, si B terpilih menjadi ketua partai tersebut karena ia dipandang sebagai pribadi yang baik, bersahaja dan mengayomi.
5.   Kekuasaan ahli (Expert Power) yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power dan legitimate power. Contoh: seorang pasien percaya pada hasil diagnose dokter atas penyakit yang dideritanya, seseorang percaya pada seorang ilmuwan pada bidang, karena ilmuwan tersebut telah membuktikan hasil penelitianya.
Sementara itu, French dan Raven (Gary A Yukl, 1994) mengidentifikasi ada lima bentuk kekuasaan yang dirasakan mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1.      Kekuasaan ganjaran merupakan suatu kekuasan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargaan atau pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya.
2.      Kekuasaan paksaan yaitu suatu kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang pengikut merasa bahwa kegagalan memenuhi permintaan seorang pemimpin dapat menyebabkan dijatuhkannya sesuatu bentuk hukuman.
3.      Kekuasaan legal yaitu suatu kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam kelompok atau hirarhi keorganisasian.
4.      Kekuasaan keahlian yaitu kekuasasaan yang didasarkan atas ketrampilan khusus, keahlian atau pengetahuan yang dimiliki oleh pemimpin dimana para pengikutnya menganggap bahwa orang itu mempunyai keahlian yang relevan dan yakin keahliannya itu melebihi keahlian mereka sendiri.
5.      Kekuasaan acuan yaitu suatu kekuasaan yang didasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpin dikagumi oleh para pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas, bentuk kekuasaan ini secara populer dinamakan kharisma. Pemimpin yang memiliki daya kharisma yang tinggi dapat meningkatkan semangat dan menarik pengikutnya untuk melakukan sesuatu, pemimpin yang demikian tidak hanya diterima secara mutlak namun diikuti sepenuhnya.
Kelima kekuasaan tersebut oleh John M Ivancevuch dan Michhael T Matteson (1987) dibagi dalm dua katogeri utama yaitu organisasi dan pribadi. Kekuasaan ganjaran dan kekuasaan dan kekuasaan paksaan terutama ditentukan oleh organisasi, kedudukan dan kelompok-kelompok resmi. Kekuasaan legitimasi seseorang dapat diubah dengan perpindahan orang, penataan kembali job discription atau pengurangan kekuasaan melalui restrukturisasi organisasi.
Sedangkan kekuasan keahlian dan kekuasaan referensi sangat pribadi, kekuasan tersebut merupakan hasil dari keahlian individu. Kemampuan seseorang dalam mengakses sumber-sumber, informasi serta dukungan merupakan sumber kekuasaan seperti yang dikemukakan dari hasil penelitiannya Rosabeth M Kanter (1979), ia mengemukakan keyakinannya bahwa akar dari kekuasaan :
• Akses terhadap sumber-sumber, informasi dan dukungan
• Kemampuan untuk dapat bekerja sama dalam melakukan pekerjaan yang penting kekuasaan terjadi ketika seseorang telah mempunyai saluran terhadap sumber-sumber keuangan, sumber-sumber manusia, teknologi, bahan-bahan, langganan dan sebagainya.
6.      Kekuasaan informasi. Dalam perkembangan berikutnya Raven bekerjasama dengan Kruglanski menambah kekuasaan yang keenam yaitu kekuasaan informasi. Kekuasaan informasi adalah kemampuan pemimpin untuk memengaruhi perilaku bawahannya dengan menggunakan kelebihannya memiliki beberapa keterangan yang diperlukan.
7.      Kekuasaan hubungan. Pada tahun 1979 Hersey dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan ke tujuh yaitu kekuasaan hubungan atau connection power. Kekuasaan hubungan adalah kemampuan pemimpin untuk memengaruhi perilaku bawahannya dengan menggunakan adanya hubungan baik dirinya dengan orang-orang tertentu yang dipandang penting dan berpengaruh baik diluar maupun didalam organisasi




BAB III
POLITIK ISLAM
A. Pengertian Politik Islam                                                                           
Politik berasal dari kata politics (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politisc berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[25] Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[26] Jadi, politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk menjadi kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.
26
 
Istilah, politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul politea yang juga dikenal  dengan Republik.[27] Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul politea.[28] Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari kedua karya inilah dapat diketahui bahwa politik merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat.
Politik dalam bahasa Arab berarti siyasah (berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga berarti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan.[29] Menurut al-Maqrizi –sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf- arti kata siyasah adalah mengatur.[30] Kata ساس sama dengan to govern, to lead. Siyasah sama dengan polisi.[31] Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik. Artinya, mengatur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.
Secara terminologis, siyasah dalam Lisan al-Arab berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan.[32] Dalam al-Munjid, siyasah
             
adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam dan luar negeri serta kemasyarakatan yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.[33] Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai undang-undang yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.[34]
Pada prinsipnya, definisi yang dikemukakan memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan.[35]
Tiga definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur, Louis Ma’louf dan Abdul Wahab Khallaf  adalah definisi siyasah dalam arti yang umum, yaitu siyasah yang tidak memperhatikan nilai-nilai syariat meskipun tujuannya adalah kemaslahatan. Corak siyasah ini dikenal dengan siyasat wadh’iyah, yaitu siyasah yang berdasar pada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil olah pemikiran manusia dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dan bernegara. Meski demikian, tidak semua siyasat wadh’iyah ditolak atau tidak diterima, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan ruh Islam.[36]
Abdul Wahab Khallaf memaknai siyasah syar’iyah adalah pengelolaan masalah umum bagi negara bernuansa  Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum, meskipun tidak sesuai dengan pendapat para imam mujtahid.[37] Sedang menurut Abdur Rahman Taj, siyasah syar’iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-dasar yang universal (kulli) untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat ke-masyarakatan, sekalipun hal itu ditujukan untuk nash-nash tafshili yang juz’iy dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Definisi-definisi tersebut menegaskan bahwa wewenang membuat segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil amri). Karenanya, segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan siyasi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama produk itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa syariat.[38]
Beberapa pakar yang juga mendefinisikan politik sebagai berikut :
1.       Ibnul Qayyim mengatakan, politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauhkan diri dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan Allah tidak mewahyukannya.[39]
Siyasah dalam definisi Ibnul Qayyim ini adalah siyasah yang bersifat khusus, yaitu siyasah yang berorientasi pada nilai-nilai kewahyuan dan syariat, atau dikenal dengan siyasah syar’iyah atau fikih siyasah. Siyasah syar’iyah adalah siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara.[40]
2.       Abdul Qadim Zallum, politik/siyasah adalah mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi –melakukan muhasabah terhadap- pemerintah dalam melakukan tugasnya.[41]
3.       Tijani Abdul Qadir Hamid mengutip definisi politik dari Kamus Litre (1870) sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara. Sedang dalam Kamus Robert (1962), politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.[42]
4.       Deliar Noer mendefenisikan politik sebagai segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[43]
5.       Miriam Budiarjo memaknai politik itu sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).[44]
Para pemikir dan ilmuwan politik tidak sepakat tentang terminologi politik, oleh karenanya digunakanlah pengertian politik dengan pendekatan holistik. Hasilnya ditemukan secara parsial dan implisit 3 unsur pokok, yaitu :
  1. Lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan
  2. Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan
  3. Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengetahuan dan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai.[45]
Berdasarkan pendekatan itupula dapat dirangkum unsur-unsur politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. Muin Salim sebagai berikut :
8.       Nilai-nilai (ajaran-ajaran agama atau ajaran filsafat dan pemikiran manusia, secara sendiri-sendiri atau bersama, yang ditransfor-masikan menjadi ideologi politik).
9.       Ideologi politik yang pada satu sisi merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan politik dan penilaian terhadap aktifitas politik. Pada sisi lain mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai.
10.    Konstitusi yang berfungsi sebagai hukum dasar dan dasar keberadaan (struktural dan fungsional) sistem politik dan negara bersangkutan.
11.    Aktivitas politik yang dapat disimpulkan dalam berbagai fungsi-fungsi politik.
12.    Subjek politik sebagai penyelenggara aktifitas politik dan yang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
13.    Tujuan-tujuan politik baik yang merupakan tujuan antara ataupun tujuan akhir.
14.    Kekuasaan politik atau kewenangan untuk menyelenggarakan aktifitas-aktifitas politik.[46]
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, penulis mengambil makna politik dalam arti yang luas. Politik tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.
Bertolak dari pengertian di atas, politik mengandung dua makna, yaitu politik dalam arti luas –sebagaimana dikemukakan di atas-, dan politik dalam arti sempit, yaitu politik yang merupakan tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat dan masyarakat secara keseluruhan. Politik praktis yang sejalan dengan syariat Islam adalah politik yang tidak terlihat didalamnya perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidakadilan, dan lain-lain, karena Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan umat di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran penguasa atau keinginan sekelompok orang. Penguasa hanyalah pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah swt., sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik agar senantiasa berada dalam rel hukum syara.
            Dalam kaitan dengan pelaksanaan kepemimpinan politik –baik dalam arti luas maupun sempit-, Allah memberi panduan dalam al-Qur’an. Hal ini diuraikan dalam 2 ayat, yaitu QS. al-Nisa (4): 58-59 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[47]
            Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu Makkah (pembebasan Makkah) Rasulullah saw. memanggil Usman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah. Ketika Usman menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata : “Ya Rasulallah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan itu dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Usman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikan kunci itu kepadaku wahai Usman!. Usman berkata : “Inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah saw. Membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah Jibril membawa perintah agar kunci itu diserahkan kembali kepada Usman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas.[48]
            Ayat selanjutnya QS. al-Nisa (4): 59:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[49]
            Kedua ayat di atas mengandung 4 tuntunan dalam melaksanakan kepemimpinan politik, yaitu :
1. Harus Amanah
2. Harus adil
3. Harus taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri
4. Harus mengembalikan segala persoalan yang dihadapi kepada Allah dan Rasul-Nya.
1) Amanah dalam menjalankan kepemimpinan politik
                Amanah berasal dari bahasa Arab امانة. Amanah adalah bentuk mashdar dari amina-ya’munu/amina ya’manu yang berarti jujur atau bisa dipercaya. Jamaknya adalah amanat.[50] Dalam Bahasa Indonesia, amanah berarti kerabat, ketenteraman, atau dapat dipercaya, pesan, perintah, keterangan, atau wejangan.[51] Amanah juga berarti sesuatu yang dipercayakan.[52] Secara umum, amanat adalah memegang hak orang lain, sehingga wajib menunaikannya kepada orang yang berhak. Hak itu dapat berbentuk materi dan non materi.[53]
Dalam kaitannya dengan QS. al-Nisa (4): 58 di atas, amanat berkedudukan sebagai isim maf’ul (kata sifat sebagai obyek) dengan pengertian segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman.[54] Kata amanah dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 6 kali dalam al-Qur’an.[55]
                Term amanat dalam ayat di atas dimaknai,  yaitu amanat dalam arti sempit dan dalam arti yang luas. Ulama yang memaknai amanat secara sempit, seperti Ibnu Jarir al-Thabary yang mengemukakan bahwa QS. 4:58 ini ditujukan kepada para pemimpin agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam dalam hal pembagian harta rampasan perang dan penyelesaian perkara umat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil.[56] Demikian pula Ibnu Taimiyah memandang amanat mencakup dua konsep, yakni kekuasaan (al-wilayat) dan harta benda.[57] Sementara Muhammad Abduh mengaitkan kata amanat dengan pengetahuan dan memperkenalkan istilah amanat al-‘ilm yang berarti tanggung jawab mengakui dan mengembangkan kebenaran.[58] 
                Amanat dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh al-Maragi dan Tanthawi Jauhari. Al-Maragi misalnya membagi amanat itu kepada 3 hal, yaitu (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhan, (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya, dan (3) tanggung jawab manusia kepada dirinya.[59] Sedang Tanthawi Jauhari menyimpulkan makna amanat sebagai segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.[60] 
                Abd. Muin Salim mengomentari bahwa perbedaan pendapat tersebut, disebabkan oleh perbedaan pendekatan yang dipergunakan oleh para ulama. Al-Thabary mengajukan konsep amanat yang legalistis sehingga mencakup hak-hak sipil. Ibnu Taymiyah melihat amanat sebagai konsep yang mencakup hak-hak sipil dan publik. Muhammad Abduh menggunakan pendekatan sosio-kultural, sedang al-Maragi melihat konsep amanat itu dari sudut kepada siapa amanat itu akan dipertanggung jawabkan, yang kemudian disimpulkan oleh Tanthawi Jauhari  dengan melihat amanat secara umum.[61]
Mengenai penafsiran QS. al-Nisa (5): 58 di atas, Quraish Shihab mengemukakan bahwa tuntunan Allah kali ini sangat ditekankan, karena ayat ini langsung menyebut Allah sebagai Penuntun dan Pemberi Perintah.[62] Quraish Shihab menafsirkannya sebagai berikut :
Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung. Yang wajib Wujud-Nya serta menyandang segala sifat terpuji lagi suci dari sifat tercela, menyuruh kamu menunaikan amanat-amanat secara sempurna dan tepat waktu kepada pemiliknya, yakni yang berhak menerimanya, baik amanat Allah kepada kamu, maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkan kepada kamu, dan Allah juga menyuruh kamu apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, baik yang berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan, maka kamu harus menetapkan putusan dengan adil sesuai dengan apa yang diajarkan Allah swt., tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau lawanmu dan tidak pula memihak kepada temanmu. Sesungguhnya Allah dengan memerintahkan menunaikan amanah dan menetapkan hukum dengan adil, telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Karena itu berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal ini mengawasi kamu, dan sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini adalah Maha Mendengar apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain, maupun dengan hati kecilmu sendiri, lagi Maha Melihat sikap dan tingkah laku kamu.[63]
QS. al-Nisa ayat 58 di atas menggunakan bentuk jamak dari kata amanah. Hal ini berarti bahwa banyak sekali amanah yang diemban oleh manusia.[64] Amanah bukan sekedar sesuatu yang bersifat materiil, tetapi juga non materiil dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan.
Amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan.  Nilai dasar dari kepemimpinan adalah amanah, karenanya amanah meminta sebuah pertanggungjawaban.[65]
Kekuasaan itu juga adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah pula. Hal ini mengandung dua makna, yaitu : pertama, apabila manusia berkuasa (menjadi khalifah) di muka bumi, maka kekuasaan yang diperolehnya sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah (delegation of authority), karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relatif. Kedua, karena kekuasaan pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.[66]
2) Adil dalam menetapkan hukum
            Secara kontekstual, perintah dalam ayat 58 di atas tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang-orang lain, seperti suami terhadap isteri-isterinya,[67] dan orang tua terhadap anak-anaknya.
            Mengenai makna ‘adl dalam ayat di atas, para mufassir pun berbeda pendapat. Al-Baidhawi mengatakan bahwa ‘adl bermakna al-Inshaf wa al-sawiyyat “berada di pertengahan dan mempersamakan”.[68] Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Sayyid Quthb bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki seseorang.[69]
            Sementara itu al-Maragi tidak melihat keadilan itu dari segi persamaan hak, tetapi lebih pada terpenuhinya hak-hak seseorang. Ibnu Jarir dan al-Qurthubi menghubungkan adil itu dengan hukum agama,[70] serta al-Syaukaniy yang dengan tegas mengemukakan pandangannya bahwa adil itu adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak  berdasar pada pikiran.[71] Penyelesaian perkara yang dimaksudkan adalah baik perkara sesama manusia maupun perkara antara ummat dengan pemimpinnya. 
3) Taat kepada Allah, Rasulullah, dan ulil amri
Setelah Allah memerintahkan untuk menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, maka Allah kembali mempertegas agar orang yang beriman itu mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Sebagian ulama melihat bahwa hubungan ayat 58 dan 59 ini adalah bentuk hubungan pemerintah dengan rakyatnya.[72]
Perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah perintah yang bersifat mutlak, tidak ada lagi bantahan di dalamnya. Sedang perintah untuk mentaati ulil amri/pemerintah merupakan perintah yang tidak mutlak. Ketaatan rakyat pada pemimpinnya hanya berlaku mutlak apabila perintah itu sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, perintah pemimpin menjadi tidak wajib ditaati, apabila bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Razi dengan menukil pendapat Ali bin Abi Thalib bahwa imam wajib menetapkan hukum dengan hukum Tuhan dan menunaikan amanat. Jika ia telah melakukan hal itu, maka rakyat wajib mendengar dan mentaatinya. [73]
4) Menyelesaikan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
            Ayat di atas memberikan pesan dan nasihat yang sangat berharga untuk dijadikan pegangan. Dalam menjalani sebuah kepemimpinan apapun –terlebih pada tampuk kepemimpinan tertinggi sebuah negara- ketika menghadapi persoalan-persoalan pelik yang sulit untuk diselesaikan maka diperintahkan untuk mengembalikan segala permasalahan itu kepada Allah dan RasulNya. Hal ini berarti bahwa ketika jalur musyawarah sudah menempuh jalan buntu, maka solusi terbaik bagi kaum beriman adalah dengan kembali merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah.  
Kedua ayat di atas seharusnya menjadi pegangan dan rujukan bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Aturan tersebut menjadi barometer kebolehan seseorang menjadi pemimpin, yang mengandung makna bahwa apabila keempat kandungan pokok QS. al-Nisa (4): 58-59 itu tidak mampu diimplementasikan dan diejawantahkan dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan, maka seorang muslim –laki-laki maupun perempuan- harus berlapang dada untuk tidak memegang jabatan kepemimpinan apapun, apalagi untuk menawarkan diri untuk memangku jabatan.
B. Pemikiran Politik Islam
Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat.[74]
1.           Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.[75]
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.
a. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya.
Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.
Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.[76]
Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.
b.    Sayyid Qutub dan al-Maududi
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat.[77] Karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar aturan Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafsirkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.[78]
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.[79]
Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.[80]
Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.[81]
2.    Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler[82]
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. [83]
Tesis utama dari buku ini adalah:
a.    Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
b.    Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
c.    Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
d.    Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.
1.    Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2.    Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3.    Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.[84]
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.[85]
Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.
Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.
3.    Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat[86]
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
1.         Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.
2.    Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha maupun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.[87]
Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.[88]
Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi kedudukannya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.
Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.[89]
Abduh mengakui bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.[90]
Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh mentaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.
Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.
Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.
3.    Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.[91]
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.[92]
Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.
C. Etika Politik Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang paripurna. Dia bukan saja berisi aqidah tentang berbagai keimanan kepada Allah SWT pencipta alam semesta serta hari akhirat dengan segala keindahan dan kenikmatan sorga maupun dahsyatnya siksa neraka, tapi juga berisi tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia, baik berkaitan dengan hubungannya dengan Allah SWT, hubungannya dengan dirinya sendiri, maupun hubungannya dengan manusia lainnya. Dari sinilah fatsoen politik Islam dibangun. [93]
Etika politik pemerintahan Islam tentunya mengacu kepada prinsip-prinsip pemerintahan Islam (qawaid nizamil hukm).  Dalam sistem pemerintahan Islam dikenal empat prinsip utama, yakni: (1) Kedaulatan di tangan syara’; (2) Kekuasaan di tangan umat; (3) Mengangkat satu Khalifah fardlu bagi seluruh kaum muslimin; (4) Khalifahlah pihak yang berhak mengadopsi hukum syara’ untuk dijadikan undang-undang.[94]   
Makna Kedaulatan Hukum Syariat
Kalau ada orang yang membanggakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, itu sebenarnya adalah kebanggaan semu.  Sebab, hukum positif yang kini berlaku adalah hukum buatan manusia yang bisa diubah kapan saja.  Bahkan undang-undang dan konstitusinya bisa diamandemen kapan saja.  Sehingga pemberlakuan hukum itu sangat relative dan lebih dari itu antara produk hukum yang satu dengan yang lain saling tumpang tindih.  Apalagi bila para penegak hukumnya saling mempermainkan hukum. Kasus konflik cicak dan buaya yang akhir-akhir ini memanas adalah bukti bahwa negara hukum yang ada ini semu sekali.
Kedaulatan pada hakikatnya adalah wewenang untuk mengendalikan aspirasi, atau sederhananya wewenang untuk menentukan mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan.  Dalam pandangan Islam, manusia tidak diberi wewenang bertindak.  Manusia dibatasi wewenang tindakannya dengan halal haram, artinya dia dipersilakan melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh syara’ dan dilarang melakukan hal-hal yang diharamkan oleh syariat. Artinya, aspirasi manusia dibatasi oleh hukum syariat Islam. [95]
Dalam praktek bermasyarakat dan bernegara, tindakan-tindakan manusia, baik sebagai rakyat yang harus menjalankan aktivitas di bawah koridor hukum maupun kepala negara (khalifah) sebagai pihak yang memberlakukan hukum, semuanya harus mengacu kepada hukum syariat.   Berarti khalifah dan seluruh pejabat kehakiman tidak diperkenankan menyusun konstitusi, undang-undang, dan peraturan-peraturan yang diimpor dari Barat atau mengarang sendiri.   Harus diambil dari nash syara’ atau hasil ijtihad seorang ahli hukum Islam.  Dan keterikatan kepada hukum syariat itu semua dilakukan secara sukarela atas dasar keimanan kepada Allah swt. yang Maha Bijaksana.  Inilah kenapa umat Islam meyakini firman Allah swt. dalam QS. Al-Nisa ayat 65 :
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[96]
Penguasa dalam menjalankan pemerintahan, senantiasa mengacu kepada ketaqwaan kepada Allah swt.  Diriwayatkan bahwa  Khalifah Umar pernah mengatakan bahwa apabila ada keledai terantuk batu di Irak, dia khawatir kalau Allah swt. nanti di hari kiamat akan menanyakan kepadanya sebagai pemerintah kenapa tidak menyediakan jalan yang rata.  Juga ada riwayat bahwa istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan kesaksiannya kepada para ulama sepeninggal beliau r.a., bahwa khalifah adalah orang yang sangat takut kepada Allah.  Suatu malam, ketika ditanya kenapa  beliau menangis.  Beliau menjawab: “Sungguh engkau tahu bahwa aku telah diserahi urusan umat ini..lalu aku ingat urusan orang-orang yang terasing, yang peminta-minta, yang tertawan..Aku tahu persis bahwa Allah akan menanyaiku dan Muhammad saw. pasti akan membantahku bila aku mangkir. Sungguh dia adalah seorang yang bila di puncak kenikmatan bersama istrinya,  lalu ingat sesuatu perintah Allah, maka dia akan bergetar badannya saking takutnya kepada Allah swt..sungguh aku ingin antara dia dan kekuasaannya seperti timur dan barat.
Itulah gambaran seorang penguasa yang faham bahwa dia adalah hamba Allah swt. yang wajib menjalankan pemerintahan dengan hukum-hukum Allah swt.   Dia bukanlah penguasa yang arogan yang bisa membuat hukum dan mengubahnya sewaktu-waktu sekehndak hatinya.  Dan bukan pula orang yang memberikan ruang aspirasi rakyat tanpa batas.  Khalifah Abu Bakar As Shiddiq menolak aspirasi orang-orang Arab yang minta untuk tidak lagi membayar zakat dan memerangi mereka tatkala mereka membangkang dari kewajiban yang merupakan rukun Islam itu.   Beliau juga memerangi kaum murtaddin  dan Nabi Palsu yang tidak mau bertobat kembali ke pangkuan Islam.  Beliau mempertaruhkan kestabilan negara demi menegakkan kedaulatan hukum syariat Islam. 
Makna kekuasaan di tangan umat
Islam mengajarkan bahwa seseorang bisa menjadi khalifah, amirul mukminin, atau kepala negara umat Islam setelah melaksanakan ijab qabul dalam aqad khilafah.  Artinya, kalau umat atau para wakilnya mengijabkan wewenang jabatan kekuasaan pemerintahan khilafah kepada orang tersebut dan dia menerimanya (qabul) maka dia secara sah telah menjadi seorang khalifah.  Secara prinsip kekuasaan itu di tangan umat lalu umat memilih salah seorang wakilnya sebagai khalifah untuk menjalankan pemerintahan dengan hukum syariat sesuai prinsip kedaulatan di tangan syariat.   
Sebagai layaknya aqad nikah, aqad khilafah ini juga diharapkan berlaku selama hidup.  Artinya, umat tidak akan mencabut kembali ijabnya setelah diqabul oleh khalifah.  Kecuali jika khalifah telah hilang syarat-syaratnya sebagai seorang khalifah, seperti gila atau ditangkap musuh yang sulit diharapkan pembebasannya.   Atau khalifah melakukan kezaliman yang luar biasa yang sulit sekali diperbaiki atau menukar hukum syariat dengan hukum lain dalam system pemerintahannya.  Atau dia telah melakukan tindakan kufur secara nyata.  [97]
Namun dengan jabatan yang tanpa batas waktu itu tidak berarti khalifah itu orang suci atau tidak berhak dikoreksi.  Tidak.  Justru dalam system Islam tindakan mengoreksi khalifah adalah hak sekaligus kewajiban rakyat, khususnya para ulama dan aktivis parpol Islam, yang wajib melaksanakan amar makruf nahi mungkar.  Selesai pembaiatan Khalifah Abu Bakar r.a. menyampaikan pidato: “Jika aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dukunglah aku.  Namun jika aku menyimpang dari jalan Allah, maka luruskanlah aku…”.   Tatkala Khalifah Umar melakukan hal yang sama, maka ada seorang badui yang mengatakan bahwa dia akan mengorksi Umar dengan pedangnya.  Maka Umar berkata: Alhamdulillah masih ada hamba Allah yang akan mengoreksi Umar dengan pedangnya!”.  Khalifah Umar  r.a. juga pernah dikoreksi oleh seorang wanita yang menilai kebijakan khalifah yang memerintahkan para wanita mengembalikan mahar yang mereka terima kepada suami mereka akibat dinilai kebanyakan.  Khalifah Umar mengatakan: “Umar salah, nenek-nenek itu betul”.
Etika hubungan rakyat dan penguasa
Hubungan antara penguasa dan rakyat dalam interaksi social politik dapat dilihat dalam firman Allah swt. :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. AN Nisa 59).[98]

Rakyat wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil amri yang memerintah mereka.  Namun ketaatan itu dengan basis kedaulatan di tangan hukum syariat.  Sehingga ketika terjadi perselisihan antara umat dan penguasa, mereka semua diminta kembali Al Quran dan As Sunnah.  Dalam hal ini secara operasional dilaksanakan dengan merujuk seorang hakim khusus yang mencapai derajat mujtahid dan independent, serta hanya takut kepada Allah swt.. Apapun keputusan yang diberikan oleh hakim tersebut yang merupakan ikhbar tentang hukum Allah swt. untuk masalah tersebut wajib dilaksanakan. Itulah etika dasar dalam system politik pemerintahan Islam. Dan itulah yang menghasilkan pemerintahan dan rakyat yang berkah (QS. Al A’raf 96). 



BAB IV
ANALISIS KEKUASAAN DALAM POLITIK ISLAM
A.       Konsep Kekuasaan dalam Politik Islam
Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana aktual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan umum yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif Al-Qur’an.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً ﴿٥٨﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً   
Terjemahnya :

64
 
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)[99]

Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt.[100]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-Qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.[101]
Kalau diteliti lebih jauh tentang kekuasaan  dalam QS. Al-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[102]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[103]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18 :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ  
Terjemahnya :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)”.[104]

Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut QS. Ali Imran ayat 26 :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Terjemahnya :
“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[105]
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan  dan ada pula yang gagal, karena pengaruh-pengaruh keduniaan sehingga tidak mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah swt. dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu. Hal ini dapat dipahami bahwa amanah yang diberikan kepada manusia harus dipertanggungjawabkan bukan saja kepada manusia tetapi juga di hadapan Allah swt.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[106]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an  (Shaad:26) :

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Terjemahnya :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.[107]

Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam QS. Al-Baqarah ayat 247 :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكاً قَالُوَاْ أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ 
Terjemahnya :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”[108]

Islam adalah agama syumul (mengatur segala aspek), lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah swt., manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu. Olehnya itu manusia disebut khalifah yang berarti wakil atau perwakilan Allah swt di bumi ini. Sebagai makhluk yang diberi tugas untuk memakmurkan dan mengatur bumi ini, tentu saja hal-hal yang dilakukan oleh manusia harus senantiasa sesuai dengan kehendak Allah swt. sebagai pemberi amanah tersebut.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
B.       Hubungan Kekuasaan  dengan Politik dalam Islam
Dalam menjalankan roda pemerintahan, nampaknya nabi Muhammad saw. memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dibawah naungan wahyu Al-Qur’an dan nabi Muhammad saw. menjalankan kekuasaan legislatif.
Pada masa nabi Muhammad saw. sudah ada negara dan pemerintahan dalam Islam. maka dengan demikian tertuju pada masa beliau sejak menetap di kota Yastrib. Kota ini berganti nama menjadi Madinah al-Nasi, dan popular disebut dengan nama Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam.
Perubahan besar yang dialami oleh nabi dan pengikutnya dari kelompok tanap kekuasaan menjadi komunitas yang memiliki kekuatan social politik yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621-622 M berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang Arab di kota Yastrib yang menyatakan masuk Islam.[109]
Praktek pemerintahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara lainnya tampak pula pada kesepakatan. Tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah diakui sebagai pimpin tertinggi, berarti pemegang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas ini kepada para sahabatnya yang dianggap mampu.
Dari sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif, yang akan di bahas secara rinci.[110]
1.        Legislatif.
Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminologi fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Istilah lembaga legislatif dalam Islam lebih popular dengan sebutan Ahl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang, lembaga ini di kenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.
Para ahli fiqh Siyasah dalam menamai istilah Ahl-al-Halli wa al-‘Aqd berbeda-beda. Al-Mawardi misalnya ia memyembunyikan lembaga ini ini dengan ahl-Ikhtiyar karena mereka dianggap kualifikasi tertentu dan mewakili aspirasi umat untuk memiliki khalifah yang hanya sampai pada garis terpilihnya calon iman.
Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.
Para ahli fiqh Siyasah memberikan beberapa alasan dalam pelembagaan ini, adalah :[111]
a.    Musyawarah hanya bisa dilakukan dengan jumlah peserta terbatas.
b.    Kewajiban taat kepada Ulil Amri baru mengikat apabila pemimpin itu di pilih
c.    Ajaran Islam sendiri menerangkan seperlunya pembentukan masyarakat.
d.   Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hanya bisa dilakukan apabila lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
e.    Rakyat secara individu tidaklah bisa dikumpulkan untuk melakukan masyarakat dalam satu tempat, mereka tertentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam masyarakat akibatnya akan mengganggu aktivitas kehidupan bermasyarkat.
Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah adalah pemegang kendali pemimpin umat segala jenis kekuasaan berpuncak padanya dan segala garis politik agama dan dunia bercabang dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepada pemerintahannya yang bertugas menyelenggarakan undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus Negara dalam bingkai Islam.
Kewenangan khalifah sebagai kepala eksekutif, adalah:
a.         Mengangkat dan memecat para pejabat tinggi
b.         Membimbing dan mengawasi pekerjaan mereka
c.         Memimpin angkatan perang.
d.        Mengumumkan perang.
e.         Mendatangani perjanjian damai.
Kekuasaan legislatif dalam Islam merupakan kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah swt. Dengan demikian unsur legislatif dalam Islam, adalah:[112]
a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam.
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
c. Isi peraturan atau hukum ini sendiri harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.
Kekuasaan legislatif dalam teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam negara. Disamping diwajibkan memilih kepala negara, legislatif juga menempatkan undang-undang dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif ini akan dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.[113]
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa jika Allah dan Rasulnya telah memberi peraturan di dalam suatu masalah. Tidak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai pendapatnya sendiri, karena menetapkan syari’at hanyalah wewenang Allah sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 38, yang berbunyi:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِين
Terjemahannya :
Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".[114]

Dari perintah di atas timbul prinsip bahwa lembaga legislatif dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntutan Allah dan rasulnya dalam semua cabang legislatif. Meskipun disahkan oleh lembaga legislatif harus secara facto dianggap ultravires dari undang-undang dasar.
Jadi tugas dan wewenang lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami sumber syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menjelaskan hukum yang berkembang di dalamnya.
Al-Maududi secara umum berpandangan bahwa fungsi legislatif adalah:
a.    Menetapkan peraturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat menjadi undang-undang.
b.    Memutuskan salah satu penafsiran dari pedoman-pedoman syariat yang punya kemungkinan penafsiran lebih dari satu.
c.    Menegakkan hukum yang di syariatkan dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam.
d.   Merumuskan hukum suatu masalah yang berpedoman dan sifat dasarnya tidak diatur dalam syariat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syariat.
2.        Eksekutif
Eksekutif yaitu suatu badan pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk menyeleggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam system kabinet presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.
Dalam pandang Abdul Kadir Audah berpendapat bahwa kekuasaan pembuat undang-undang dipegang oleh ulil Amri dan Ahlu Ra’yi. Ulil amri disini adalah kumpulan dari umara dan ulama.
Dalam suatu negara dalam Islam, lembaga eksekutif memiliki tujuan yaitu untuk menegakkan pedoman-pedoman Allah yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari karakteristik lembaga eksekutif inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif non muslim.
Dalam teori kedaulatan hukum, demokrasi, trias politika, bahkan teori kekusaan eksekutif karena itu apabila kita menurut teori ini dan praktek negara Islam pertama ada kemiripan dan perbedaan. Dalam membahas masalah kekuasaan eksekutif menurut sistem negara Islam adalah istilah khilafah. Menurut Al-Qur’an istilah khilafah termuat dalam surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahannya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".[115]

Jadi istilah khalifah identik dengan istilah presiden dalam negara sekuler walaupun dalam kriteria calon seorang presiden dan sistem pertanggung jawaban dalam negara sekuler berbeda dengan pandangan Islam akan tetapi dalam pelaksanaan fungsi eksekutif atau khalifa sama-sama mengutamakan kepentingan warga negara atau umat dalam Islam.
3.    Yudikatif.
Dalam kamus umum ilmu politik, Yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan.
 Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan dipengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara
Ruang lingkup lembaga Yudikatif (dalam terminology hukum Islam dikenal dengan Qhadhi), juga di isyaratkan maknanya oleh pengakuan asas kedaulatan de jure oleh Allah swt. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abdinya, Rasulullah saw. berdiri yang menjadi hakim pertama negara tersebut dan beliau melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum Allah: orang-orang melanjutkan tidak memiliki aternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum allah sebagaimana yang telah sampaikan kepada mereka oleh Rasulullah saw.[116]
Dalam Al-Qur’an membahas masalah ini yang mana uraian ini dimulai dengan sejarah Israil, beranjak kesejarah orang-orang Kristen dan akhirnya kepada orang-orang Islam. dinyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan kepada Musa as dan sesudah itu kepada rasul orang Israil dan Robi Yahudi menurutnya sebagai hukum dalam semua sektor kehidupan untuk memutuskan perselisihan yang terjadi dikalangan rakyat sejalan dengannya. Sesudah itu turunlah Isa as dengan wahyu baru dan Al-Qur’an memberitahu kita bahwa para penganutnya tidak juga diwajibkan untuk memutuskan urusan-urusan mereka sejalan dengan wahyu tersebut. Kemudian diceritakan oleh Rasulullah dan Allah berfirman kepada beliau, dalam surat al-Hadid ayat 25 berbunyi:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Terjemahannya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.[117]
Sepanjang penjelasan ini, dinyatakan dengan penuh tekanan bahwa orang-orang yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah adalah orang-orang kafir, dzhalim, dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan bahwa peradilan-peradilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Allah swt. dan bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara muslim.

C. Analisis Hubungan Kekuasaan legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam pemerintahan Islam
Dalam hal ini, tidak terdapat perintah-perintah yang jelas. Tetapi konvensi-konvensi di masa Rasulullah saw dan empat khalifah memberi kita cukup pedoman. Dan dari pedoman-pedoman ini kita dapat menggali kesimpulan bahwa kepala negara Islam merupakan pimpinan tertinggi dari semua lembaga yang berbeda ini. Rasulullah saw menikmati kedudukan yang sama dan posisi ini di pertahankan oleh empat khalifah yang lurus .
Tetapi di bawah kepala negara, ketiga lembaga tinggi negara berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lainnya. Lembaga yang disebut ahl-al’aqd wa al aqd yang bertugas memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum, pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah. Kemudian ada pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah yudisial yang harus diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim.
Dalam semua masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum khalifah mau tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl-al’aqd wa al aqd dan segera setelah itu tercapai kesepakatan yang di isyaratkan. Maka lembaga itu bubar, hadir dan melakukan pembelaan dihadapan qadi sebagaimana orang kebanyakan.[118]
Hubungan penegakan hukum dalam konvensi yang ditegakkan lembaga yudikatif di zaman khalifah tidak membatasi kekuasaan legislatif atau paling tidak tak seorang pun qadhi melakukan itu karena alasannya anggota legislatif pada zamannya memiliki wawasan yang berbobot dan didasari Al-Qur’an, hadist dan khalifah merupakan orang-orang yang diandalkan.
Untuk menjamin bahwa legislatif akan menegakkan hukum tentang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist maka lembaga legislatif membutuhkan otoritas untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist. Sedangkan kedudukan yang benar dalam Islam untuk lembaga legislatif bukan hanya merupakan lembaga penasihat kepala negara, yang nasehatnya dapat di terima dan ditolak sesuai dengan kehendak kepala negara yang bersangkutan akan tetapi juga untuk menegakkan hukum yang sesuai dengan Al-Qur’an.[119]
Dalam menjalankan roda pemerintahan negara Madinah, nampaknya nabi Muhammad tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dibawah naungan Al-Qur’an, nabi Muhammad saw menjalankan kekuasaan legislatif, beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah swt tersebut kepada masyarakat Madinah. Untuk permasalahannya yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an, nabi Muhammad yang mengaturnya. Rasulullah yang menentukan sendiri hukum terhadap permasalahan yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an .
Untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran ketertiban umum, Nabi Muhammad saw. membentuk lembaga hisbah. Lembaga bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pedagang pasar dan bahkan tidak jarang nabi melakukan inspeksi langsung ke tempat-tempat strategis.
Islam telah mengkonsepkan bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu. Satu masalah pokok yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang kebebasan lembaga peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, bentuk penegasannya tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur kedudukan pengadilan dan cara mengangkat para hakim. Hakim dapat di angkat oleh kekuasaan eksekutif atau oleh kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung dipilih rakyat. Menurut cara yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu dilakukan oleh kekuasaan eksekutif .
Para khalifah adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah ia di angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan harus memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka apabila ada gugatan. Indahnya gambaran hubungan antara hakim dan khalifah itu dapat di angkat dari satu kisah sebagai berikut :
Demikian pula Ali r.a pernah terlibat dalam suatu perkara dengan seorang non muslim yang dilihatnya menjual baju besi milik Ali di pasar Kuffah, ia tidak merampasnya dari tangannya, dalam kedudukannya sebagai Amirul Mu’minin dan kepala negara pada waktu itu, tapi ia mengadu halnya kepada hakim. Dan ketika itu ia tidak berhasil mengajukan suatu bukti atau saksi-saksi atas tuduhannya itu, sang hakim menjatuhkan putusan yang merugikannya
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Lembaga Legislatif adalah  lembaga yang memberikan sumbangan terhadap rakyat yang melalui dengan aspirasinya, serta pemberi dan memutuskan suatu fatwa. Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang mempunyai penyelenggaraan dalam suatu undang-undang dalam pemerintahannya. Sedangkan Yudikatif adalah lembaga yang mempunyai dengan pengadilan terhadap masyarakat.
Ketika lembaga tersebut mempunyai pembagian masing-masing sera mempunyai fungsi dalam pemerintahan Islam. lembaga legislatif berfungsi sebagai pemegang pemerintahan yang dilandaskan dengan syariat Islam yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits. Ekseekutif berfungsi sebagai menegakkan hukum Islam yang berpegang dengan Allah yang menyampaikan melalui dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan Yudikatif berfungsi sebagai menyelesaikan suatu urusan perkara dalam hukum pidana dalam suatu masyarakat.
Dari fungsi masing-masing dari lembaga tersebut yang mempunyai hubungan satu sama lain yang secara harmonis dan tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan Islam. dalam pemerintah Islam lembaga tersebut mempunyai dasar-dasar dalam Al-Qur’an.



BAB V
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari beberapa uraian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal :Istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa dengan imbuhan awalan ke dan akhiran an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kekuasaan diberi arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya); kemampuan; kesanggupan; kekuatan.  Kekuasaan selain merujuk kepada makna benda (kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan), juga merujuk kepada makna sifat. Dan dapat pula bermakna benda, yakni orang yang di beri kewenangan. Kekuasaan dapat disimpulkan dalam tiga arti, yaitu kemampuan, kewenangan, dan pengaruh. Ketiga makna ini terlihat dalam defenisi kekuasaan yang diberikan para ilmuwan politik.
Politik dalam bahasa Arab berarti siyasah (berasal dari kata ساس-يسوس-سياسة yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga berarti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan. Siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik. Artinya, mengatur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.
83
 
Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.
Politik atau siyasah dalam pandangan Islam tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.
Bertolak dari pengertian di atas, politik mengandung dua makna, yaitu politik dalam arti luas –sebagaimana dikemukakan di atas-, dan politik dalam arti sempit, yaitu politik yang merupakan tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat dan masyarakat secara keseluruhan. Politik praktis yang sejalan dengan syariat Islam adalah politik yang tidak terlihat didalamnya perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidakadilan, dan lain-lain, karena Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan umat di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran penguasa atau keinginan sekelompok orang. Penguasa hanyalah pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah swt., sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik agar senantiasa berada dalam rel hukum syara.
Praktek pemerintahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara lainnya tampak pula pada kesepakatan. Tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah diakui sebagai pimpin tertinggi, berarti pemegang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas ini kepada para sahabatnya yang dianggap mampu.
Dari sinilah muncullah masalah pemerintahan dalam Islam tentang Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif
Islam telah mengkonsepkan bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu. Satu masalah pokok yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang kebebasan lembaga peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, bentuk penegasannya tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur kedudukan pengadilan dan cara mengangkat para hakim. Hakim dapat diangkat oleh kekuasaan eksekutif atau oleh kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung dipilih rakyat. Menurut cara yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu dilakukan oleh kekuasaan eksekutif .
Para khalifah adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah ia di angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan harus memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka apabila ada gugatan.
Kekuasaan Legislatif adalah  kekuasaan lembaga yang memberikan sumbangan terhadap rakyat yang melalui dengan aspirasinya, serta pemberi dan memutuskan suatu fatwa. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan lembaga yang mempunyai penyelenggaraan dalam suatu undang-undang dalam pemerintahannya. Sedangkan Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan lembaga yang mempunyai dengan pengadilan terhadap masyarakat.
Ketika lembaga tersebut mempunyai pembagian masing-masing sera mempunyai fungsi dalam pemerintahan Islam. lembaga legislatif berfungsi sebagai pemegang pemerintahan yang dilandaskan dengan syariat Islam yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits. Eksekutif berfungsi sebagai menegakkan hukum Islam yang berpegang dengan Allah yang menyampaikan melalui dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan Yudikatif berfungsi sebagai menyelesaikan suatu urusan perkara dalam hukum pidana dalam suatu masyarakat.
Dari fungsi masing-masing dari pemegang kekuasaan lembaga tersebut mempunyai hubungan satu sama lain yang secara harmonis dan tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan Islam. dalam pemerintah Islam lembaga tersebut mempunyai dasar-dasar dalam Al-Qur’an.
B.     Implikasi
Dengan pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang politik dan kekuasaan menurut konsep Islam, sehingga dengan demikian umat Islam yang bergelut dalam bidang politik hendaknya melakoni perpolitikan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai islami dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengatur tentang bagaimana berpolitik dan tentang bagaimana menempatkan kekuasaan sebagai amanah dari Allah swt.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa mengharapkan saran dan masukan yang berharga demi kesempurnaan penulisan pada masa-masa yang akan datang.

                                                














                                                    DAFTAR PUSTAKA     
--------------. Political Theory of Islam : Inter-Collegiate Muslim Brotherhood, Lahore, 1939.
Abd. al-Baqi, Muhammad Fu’ad. Mu’jam al-Mufahras li Alfad al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Ahmad, Zainal Abidin. Membangun Negara Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Iqra, 2001.
Al-Afghani, Sa'id. Aisyah wa al-Siyasah, t. dt.
Al-Bahnasawi,Salim Ali. Wawasan Sistem politik Islam, Terj. Mustolah Maufur. Cet 1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
Al-Baqy, Muh. Fu’ad ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li Alfad Al-Qur’an. Beirut: Dar  al-Fikr, 1991.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1975.
Ali,      A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Al-Maududi, A’la, Abul, Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, Tetj. Drs. Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1990.
Al-Raziq, Ali , al-Islam wa Ushul al-Hukmi, Beirut : Maktabah al-hayah : 1966.
Al-Syuwarabi, Abdul Hamid. al-Huq­q al-Siyasiyyah li al-Mar’ah f³ al-Islam. Iskandariah: Dar Mansya’ah al-Ma’arif, t.th.
Andi Rasdiyanah. Konsep Etika Politik dalam Persepsi Budaya Bugis Makassar, “Makalah”, disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-33 IAIN Alauddin Makassar, November 1998.
Arkoun, Mohemmed, Rethinking : Common Questions, Uncommon Answers, Yudian W. Asmin (Penterjemah), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Bahri, Fadli. al-Akhkam, al-Sulthonia Al-Mawardi, Terj., Jakarta: Darul Falah. Cet I, 2000.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Athibi, Ukasyah Abdulmannan. Ta«hur­ Akhlaq al-Nisa, terj. Chairul Halim dengan Judul Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1982.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera, 1989.
Ditjen Bagais. Jejak-Jejak Islam Politik:  Sinopsis Sejumlah Studi Islam Indonesia. Jakarta: Ditpertais, 2004.
el-Na, Muhammad, Sistem Politik Dalam Pemerintahan Islam, Terj Anshori Tadjib, Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Hamid, Tijani Abdul Qadir. Pemikiran Politik Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Ibn Khaldun, As-Siyasah asy-Syari‘ah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, Dar al-Kutub al-„Arabiyat, Bairut, 1966.
Iqbal, M., Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, Cet I, 2001.
Jaelani, Abdul Kadir, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu Cet I, 1995.
Lubis, Todung Mulya. Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Azasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia, 1994.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1986.
Madjid, Nurcholish, Agama dan Negara Dalam : Sebuah Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni, Makalah Seri KKA Nomor 55/Tahun V/ 1991.
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1983.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqhi Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Ed.I. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London : University of Chicago Press, 1982.
Rais, Amin, Cakrawala Antara Cita-cita dan Fakta, Bandung, Mizan, 1899.
Salim, Abd. Muin. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. V, UI-Press, Jakarta, 1993.
Smith, Donald Eugene, Religion and Political Development, Boston : Little, Brown and Co., 1978.
Syalabi, Ahmad, Prinsip-prinsip Pemerintahan Islam, terjemahan Salim Nabhan, Surabaya, 1983.
Taj, Abdur Rahman. al-Siyasat al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islamiy. Mishr: Dar al-Ta’lif, 1953.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. II; Jakarta; Balai Pustaka, 1989.
Zakariya, Ahmad bin Faris bin. Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz I.Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Zallum, Abdul Qadim. Al-Afkar al-Siyasi.Beirut: Dar al-Ummah, t.th.